Saya memasuki kehidupan sekolah dasar tanpa pernah menyelesaikan pendidikan di taman kanak-kanak. Saya pertama kali menghadapi kehidupan SD di SDN 008 Kampar Kiri, kota Lipat Kain, bulan Juli tahun 1998. Lipat kain adalah sebuah kota di propinsi Riau yang dilintasi garis khatulistiwa dan listriknya yang sering dipadamkan.
Senin (tanggal lupa, bulan Juli 1998) hari pertama saya masuk sekolah, mengenakan seragam putih-putih berdasikan hitam, saya tidak tahu entah kapan ibu saya mempersiapkan seragam ini buat saya. Saya bersandarkan dinding di ujung lorong sekolah, di samping saya ada ibu. Di depan saya ada seorang teman yang nantinya menjadi lawan berkelahi saya selama kelas satu, namanya Heru, tidak pernah diketahui nama lengkapnya tapi dulu dia sering dipanggil Heru Sintogendeng dan dia sering sekali mengaku-ngaku keturunan langsung dari gurunya Wiro Sableng.
Selama kelas satu ini uang jajan saya hanya 300 rupiah. Tetapi dulu 300 rupiah itu sudah bisa beli sepiring lotek.
Sejak kecil saya adalah orang yang sangat usil dan tidak peka. Salah satu cerita ketidakpekaan saya adalah ketika guru kelas 1 SD saya marah ke semua murid di kelasnya. Saya saat itu sama sekali tidak mendengarkan kata-kata guru saya itu, malah mengambil kertas buram, membuat kertas tersebut menyerupai kerucut dan menempelkan ujung alas kerucut tersebut ke telinga teman sebangku saya kemudian ujungnya yang lain saya tiup. Lantas guru kelas saya menegur:
Lihat dzikri ini, udah pandai usil dia.
Ketika guru saya bergumam seperti itu barulah saya sadar bahwa beliau sedang marah kepada anak-anak didiknya.
Lalu akibat keusilan ini saya saya sering mendapatkan lawan tinju di sekolah. Pernah suatu ketika ketika teman saya berusaha memanjat pohon nagka di halaman sekolah, saya menarik kakinya dan dia pun terjatuh. Lututnya terluka, dia menangis, guru pun datang, dan saya disalahkan. Teringat dengan jelas bahwa dia menyalahkan saya dan sangat ingin saya mendapatkan proses hukuman dari guru. Tetapi ternyata saya tidak dimarahi guru. Teman saya itu lututnya terluka tapi hatinya pasti lebih terluka. Dialah teman sebangku saya.
Teman saya itu lututnya terluka tapi hatinya pasti lebih terluka.
Naik kelas dua saya pindah ke Pekanbaru untuk mengadu nasib berharap mendapatkan sekolah yang lebih baik. Saya dititipkan di rumah tante saya yang saat itu masih kuliah. Saya disekolahkan di SDN 017 Pintu Angin. Ini masa peralihan saya sekolah dari desa terpencil ke ibukota, nilai saya turun semua, keusilan saya banyak tidak diperdulikan orang lain. Enaknya ada juga sih, uang jajan saya naik jadi 500 rupiah. Sebenarnya tidak naik, hanya saja 300 rupiah untuk jajan dan 200 rupiah lainnya untuk ditabung. Tetapi semuanya malah saya jajankan.
Karena kehidupan saya yang tidak beres di sana akhirnya cawu kedua saya dipindahkan ke sekolah yang berada di dekat rumah orang tua saya, SDN 030 Teratak Buluh. SD nya di luar kota sedangkan rumah saya di perbatasan kota. Untuk mencapai sekolah ini saya harus melintasi hutan, jalan bebatuan, jalan berpasir, sungai, perkebunan, padang berumput. Terkadang sebelum pulang teman-teman saya malah mandi bugil 100% dulu di sungai, saya tidak pernah karena tidak bisa berenang. Sedikitnya cerita saya SD di sini mirip dengan cerita laskar pelanginya kak Andrea Hirata.
Anehnya di sekolah ini nilai rapor saya kembali naik. Sepertinya memang saya tidak cocok bersekolah di kota. Setelah pindah sekolah dari kota saya malah lupa bagaimana caranya menjadi anak bandel kembali. Bahkan saya menjadi korban kompas. Sejak hari pertama di kelas saja saya sudah dipalak mafia kelas dan bilang kalau setiap hari saya harus menyetorkan uang 500 rupiah ke dia. Hari pertama saya kasih, hari kedua juga saya kasih, hari ketiga juga. Di hari ketiga ini si mafia kelas tiba-tiba bertanya tentang berapa sebenarnya uang jajan saya, saya jawab 500 rupiah. Entah malaikat mana yang lewat tiba-tiba saja dia merasa kasihan dengan saya dan mengembalikan 200 dari 500 rupiah uang jajan saya yang dikompasnya. Ternyata mafia pun ada sisi baiknya ya.
Kehidupan saya terbalik yang dulunya kalau diberi uang 500 rupiah, 300 dijajankan 200 sisanya ditabung, menjadi 300 disetorkan 200 buat dijajankan. Kadang kadang malah ke 500 nya dirampas.
Dulu teman sekelas saya yang seharusnya sudah kelas 5 sering mengompas saya, biasanya dia meminta 500 rupiah dan saya tidak jajan, tapi sejak dia tau uang jajan saya hanya 500 rupiah dia hanya meminta 300 rupiah dan 200 nya lagi buat saya jajan.