Penghuni Lain Gedung PAU ITB

Bandung, 2014

Tulisan ini merupakan kilas balik ke masa di mana saya masih merupakan mahasiswa di Institut Teknologi Bandung, atau yang lebih dikenal dengan singkatannya yaitu ITB. Kala itu, tahun 2014, saya merupakan mahasiswa tingkat akhir program sarjana dari program studi Teknik Mesin di ITB. Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang sedang menggarap tugas akhir sarjana, persebaran kehadiran saya di kampus menjadi terpusat pada laboratorium di mana saya menggarap tugas akhir tersebut. Yakni Laboratorium Dinamika yang berada di lantai 1 dan lantai dasar Gedung PAU ITB. Gedung PAU ITB sendiri merupakan gedung tertinggi di ITB, yang terdiri atas delapan lantai ditambah satu lantai dasar.

Suatu hari, Rabu, lupa tanggal pastinya, saya berencana untuk melakukan pengujian prototipe yang baru saja saya selesaikan pembuatannya. Namun sebagai warga laboratorium, tanggung jawab saya bukan hanya mengerjakan proyek individu, saya juga harus menjadi asisten praktikum, mengoreksi PR dan kuis mahasiswa, mengawas ujian, serta membantu pengerjaan proyek-proyek laboratorium. Selain itu terdapat juga antrian karena harus berbagi tempat dengan pengujian lain dan praktikum. Maka hari itu saya terpaksa mengalah dan menomorduakan kepentingan pribadi. Sehingga pengujian yang saya rencanakan pun baru dapat dimulai setelah jam makan malam, ketika semua warga laboratorium selain saya telah pulang.

Pengujian dan pengambilan data dilakukan cukup banyak dengan tujuan agar saya dapat memodelkan perilaku prototipe sebaik mungkin. Selain itu juga demi keabsahan analisis karena saya sendiri tidak yakin dengan kualitas prototipe yang saya buat itu. Dan tentu saja pengujian ini memakan waktu yang cukup banyak. Saya sendiri sudah mempersiapkan diri untuk menginap di laboratorium hari itu jika pengujian berlangsung hingga larut malam. Bagaimana mungkin tidak hingga larut malam, dimulainya saja setelah jam makan malam. Namun di samping itu, selain dari pada untuk menguji prototipe, ada alasan lain bagi saya untuk menginap hari itu. Yaitu keinginan saya untuk sekali saja merasakan bagaimana menginap di laboratorium. Maka benar terjadilah saya menginap malam itu. Sendirian.

Singkat cerita, sesuai dugaan, pengujian berlangsung hingga lewat tengah malam. Hari pun berganti menjadi Kamis. Saat itu, kira-kira pukul 02:00 dini hari, saya teringat bahwa saya belum melaksanakan ibadah salat isya. Maka saya tinggalkan sementara pengujian untuk melaksanakan salat. Sebelum itu, tidak lupa saya putuskan aliran catu daya listrik yang menyuplai pengujian untuk berjaga-jaga. Setelah memastikan keadaan laboratorium aman untuk ditinggalkan, saya pun memadamkan lampu, lalu keluar, dan mengunci pintu laboratorium.

Saya berangkat menuju musala Gedung PAU yang berada di lantai empat. Lorong dan koridor gedung gelap. Lampu-lampu lorong semuanya padam. Sehingga, untuk melihat, saya hanya dapat mengandalkan sinar pantulan bulan yang masuk melalui bagian tengah gedung yang tidak beratap. Sepanjang saya memandang, tidak terlihat satu ruangan pun dengan lampu yang menyala. Mengisyaratkan bahwa tidak ada manusia lain selain saya di gedung itu saat itu.

Gedung PAU dilengkapi dua elevator di bagian depan dan bagian belang gedung. Biasanya warga ITB, termasuk saya, memanfaatkan elevator ini untuk berpindah dari satu lantai ke lantai lainnya di Gedung PAU. Namun malam itu saya sengaja tidak menggunakan elevator, demi menghidari kejadian bilamana terdapat malfungsi dan saya terjebak di elevator semalaman karena tidak ada yang akan menolong sebelum datangnya pagi. Meski perihal melevator malfungsi ini tidak pernah saya dengar selama berkuliah di ITB, tapi ada baiknya mencegah skenario buruk yang mungkin saja terjadi. Maka dari itu saya pun menggunakan tangga belakang Gedung PAU untuk mencapai lantai empat, dari lantai satu. Saya memilih menggunakan tangga belakang karena bagian belakang gedung lebih terang oleh sinar pantulan bulan yang masuk dari bagian belang gedung. Bagian belakang Gedung PAU dipenuhi oleh kaca dan tidak terhalang bangunan apapun. Kebetulan, saat itu, Gedung Serba Guna (GSG) sudah diruntuhkan dan sedang dilaksanakan pembangunan gedung baru.

Suasana yang remang-remang dan kesendirian saat itu membuat pikiran-pikiran seram pun bermunculan. Terlebih lagi, karena Gedung PAU ini sendiri memiliki banyak mitos angker. Banyak cerita-cerita seram mengenai Gedung PAU yang diwariskan turun-temurun di kalangan mahasiswa ITB.

Keadaan di dalam gedung benar-benar berbeda dengan siang hari di mana terdapat banyak suara bising yang memenuhi telinga. Sementara pada dini hari, benar-benar sunyi. Langkah kaki saat menaiki tangga pun terdengar dengan sangat jelas. Bahkan di beberapa titik, suara langkah kaki terdengar menggema. Pengetahuan saya di bidang sains memang mengatakan bahwa yang saya dengar itu adalah gema, atau gaung. Namun nyali kecil saya bertanya-tanya hal yang tidak pada saatnya.

“Apa benar itu gema? Bukan suara langkah dari sesuatu yang mengikuti di belakang?”

Di tengah ketakutan yang muncul, saya tidak dapat berhenti dan hanya bisa meneruskan langkah demi langkah. Anak tangga demi anak tangga pun berubah menjadi dua anak tangga demi dua anak tangga. Langkah-langkah besar mulai saya ambil hingga saya sampai di lantai empat dengan selamat. Saya pun langsung ke tempat wudhu yang mana menyatu dengan toilet.

Saya berwudhu tanpa penerangan lampu karena saya tidak tahu di mana letak sakelar lampu di dalam toilet. Saya hanya mengandalkan ingatan akan tatanan interior di dalam toilet, perkiraan jarak, serta indera peraba. Seusai berwudhu saya langsung memasuki musala dan melaksanakan salat isya.

Di Gedung PAU ini mushala laki-laki dan perempuan sebenarnya adalah ruangan yang sama namun dibagi menjadi dua. Dikarenakan bentuk ruangan mushala yang memanjang ke samping terhadap arah kiblat, musala bagian laki-laki dan bagian perempuan diposisikan menjadi bersebelahan, dan dipisahkan oleh sekat-sekat hijab yang tingginya hampir menyamai tinggi badan saya.

Lagi-lagi karena saya tidak tahu di mana letak sakelar lampu di dalam musala, saya pun menunaikan salat isya juga tanpa penerangan. Mungkin pembaca dibingungkan dengan sikap saya ini. Mengapa saya tidak berusaha mencari sakelar lampu dengan memanfaatkan fungsi flashlight yang ada di smartphone. Perlu diketahui bahwa pada zaman itu persebaran smartphone tidak sebanyak saat ini. Tidak semua orang punya, dan saya termasuk salah seorang yang tidak memiliki smartphone. Saya saat itu masih betah menggunakan ponsel lipat Samsung C3520 di mana tidak ada fungsi flashlight di ponsel tersebut.

Perasaan tak mengenakkan muncul beberapa saat setelah saya memulai salat. Seakan kehadiran sesuatu di musala bagian perempuan. Perasaan ini sempat membuat bulu kuduk berdiri dan tentunya mengganggu kekhusyukan salat. Saya juga tidak mengerti dengan bagaimana saya merasakannya, sedang saya tidak melihat maupun mendengar apapun. Mungkin ini mirip dengan perasaan sedang diamati atau dibuntuti oleh seseorang meski kita tidak yakin. Terkadang benar namun seringnya salah. Saya hanya dapat berusaha untuk tidak berpikir yang macam-macam. Dan dengan kekuatan hati serta perlindungan dari Allah, saya berhasil menyelesaikan shalat tanpa gangguan yang berarti. Namun perasaan sedari tadi akan kehadiran sesuatu di mushala perempuan itu tetap tidak bisa saya elakkan. Lalu bodohnya, karena digiring oleh rasa penasaran yang sangat, saya pun berdiri, menjinjit meninggikan badan agar kepala saya lebih tinggi dari hijab pemisah, dan saya pun mengintip ke mushala bagian perempuan untuk melihat ada apa sebenarnya di balik pembatas itu. Dan alangkah terkejutnya saya akan apa yang saya lihat.

Saya melihat tiga pocong sedang berbaring di sana.

Saking terkejutnya, saya sampai tidak dapat berlari. Kaki saya terkunci, mata saya terpejam. Saya hanya berserah diri sambil berzikir menyebut-nyebut kebesaran Allah. Hal terburuk adalah, pocong-pocong itu mungkin saja akan menyerang saya. Mereka bertiga, sedangkan saya hanya sendiri di gedung ini, dan saya tidak punya perlindungan apa-apa selain dari pada Allah.

Setelah memejam mata cukup lama dan bacaan ayat kursi selesai, sembari melanjutkan zikir, saya beranikan untuk membuka mata. Dan benar saja, pocong yang saya lihat tadi bukanlah halusinasi. Makhluk-makhluk itu masih berada di situ. Tidak beranjak sedikitpun seolah mereka tidak terusik sama sekali akan keharidan saya.

Mereka semakin jelas terlihat karena mata saya pun semakin terbiasa di ruangan gelap. Saya pun harus menerima kenyataan bahwa saya tidak sendirian. Bahwa ternyata ada penghuni lain Gedung PAU ITB. Yaitu tiga karyawan ISS yang juga menginap di kampus. Mereka tidur di mushala perempuan Gedung PAU ITB sambil mengenakan mukena berwarna putih berlapis-lapis yang tersedia di mushala layaknya orang berkemah tidur mengenakan sleeping bag agar tubuh mereka tidak kedinginan.

Jadi pesan saya teruntuk adik-adik mahasiswi di ITB, sebaiknya selalu menggunakan mukena pribadi bila hendak sholat di musala kampus karena mukena yang tersedia di kampus terkadang dipakai tidur oleh laki-laki yang menginap di kampus.

Perkenalkan, Namaku Jon

Pekanbaru, 2006.

Suatu Sabtu sore, seusai mengikuti kursus Bahasa Inggris, sebelum pulang ke rumah aku singgah ke toko buku Gramedia untuk membaca komik dan sekedar melihat-lihat. Kemudian sekitar pukul enam tiga puluh sore, setelah menunaikan ibadah salat magrib di musala Gramedia yang sempit, aku bergegas pulang.

Aku menunggu bus kota tujuan Kubang di halte bus di depan Gramedia. Bus kota yang aku tunggu belum terlihat sejak aku duduk di halte ini, yakni sejak dari sepuluh menit yang lalu. Bus kota tujuan Kubang jumlahnya memang sedikit dan selesai beroperasi lebih awal dibadingkan bus kota tujuan lain. Namun biasanya masih beroperasi hingga pukul delapan malam sedangkan angkutan umum lain beroperasi hingga pukul sembilan malam. Yang jelas tidak ada jadwal yang jelas mengenai angkutan kota di kota ini. Maka aku kekeuh untuk menunggu bus kota tujuan Kubang hingga pukul tujuh malam. Pasalnya, ongkos perjalananku akan lebih murah bila aku menggunakan jasa bus kota tujuan Kubang. Namun hingga jam tanganku menunjukkan pukul sembilan belas lewat lima belas pun, bus kota yang ditunggu tak juga datang. Aku menyerah dan berubah pikiran untuk menggunakan jasa bus kota tujuan Panam yang sedari tadi beberapa kali berlalu di hadapanku. Tidak mengapalah kali ini membayar lebih mahal dua ribu rupiah, pikirku menyabarkan hati. Aku berencana untuk menaiki bus kota yang datang selanjutnya, entah itu tujuan Kubang atau pun tujuan Panam, aku akan naik. Namun ternyata bus kota yang datang selanjutnya malah tujuan Pandau. Mungkin aku harus menunggu sedikit lebih lama lagi di halte ini.

Seorang pria datang dan duduk di kursi kosong yang tepat berada di sebelah kananku. Tidak biasanya orang yang datang belakangan mengambil tempat duduk yang bersebelahan dengan orang yang sedang duduk. Padahal sebelumnya, di halte ini hanya ada aku seorang dan ada beberapa kursi lain yang juga kosong yang berjarak dariku, terlebih lagi aku duduk di kursi yang paling pojok. Kami juga tidak saling mengenal, setidaknya begitu yang aku yakini.

Dari paras wajahnya, aku memperkirakan pria yang baru datang ini sudah cukup berumur. Mungkin hampir seusia ayahku. Dia mengenakan setelan pakaian yang rapi. Jaket kulit berwarna cokelat muda yang kelihatannya mahal, serta celana jeans berwarna biru gelap. Tercium semerbak parfum darinya. Aroma yang agak berlebihan menurutku.

“Lagi nunggu bus Kubang, ya?” tanyanya padaku.
“Iya, Om.”
“Oh, iya, aku Jon.”

Jon mengulurkan tangan kanannya seraya mengajakku berjabat tangan. Ketika berjabat tangan, dia langsung memegang tangan kananku dengan kedua tangannya. Beberapa orang memang menggunakan gestur ini saat berjabat tangan. Aku pun begitu bila berjabat tangan dengan orang yang lebih tua dariku. Gestur ini memberikan kesan lebih sopan. Namun aku jarang menggunakan gestur ini ke orang yang belum aku kenal sebagai upaya untuk membatasi kontak fisik.

Jon tidak melepaskan tangan kananku dari kedua tangannya. Padahal jabat tangan ini seharusnya sudah usai. Dia malah mengelus-elus dengan lembut telapak tanganku, kemudian meraba kuku jempolku, serta mencoba mengukur besar lingkar yang dapat dibentuk dari jari jempol dan jari telunjukku.

“Anunya besar, ya?” tanyanya sambil berbisik.

Aku terkejut dan langsung menarik kuat tangan kananku agar lepas dari kedua tangannya. Aku bukanlah anak polos yang tidak mengerti maksud dari pertanyaan yang disampaikannya dengan berbisik tadi. Beberapa laki-laki memang suka bercanda biru kepada teman akrabnya. Baru kali ini aku bertemu individu yang bercanda biru ke orang yang baru ditemuinya. Aku diam dan enggan menjawab pertanyaannya vulgarnya tadi. Aku alihkan pandanganku darinya.

Mengetahui bahwa aku tidak suka dengan pertanyaan yang dilontarkannya tadi, Jon pun mengubah topik permbicaraan. Dia berkata bahwa sebenarnya dia ingin menonton suatu film di bioskop Studio 88 di Plaza Citra namun tidak memiliki teman yang dapat diajak menonton bersama. Maka dia mencoba mengajakku menemaninya menonton. Dalam sekelebat mata aku langsung paham akan keinginannya. Kenyataan bahwa dia mengenakan setelan pakaian yang rapi, serta aroma parfum yang pekat dan masih baru belum bercampur keringat. Bahwa dia menginginkan kencan atau semacamnya. Terlebih lagi malam ini tidak lain merupakan malam minggu.

Dia juga menawarkan diri untuk mengantarkan aku pulang karena setelah film di bioskop selesai, tentu sudah tidak akan ada angkutan umum yang beroperasi. Dia juga menawarkan diri bahwa dia yang akan menjelaskan langsung ke ayahku agar aku tidak dimarahi saat telat pulang ke rumah karena menemaninya menonton. Trik basi. Trik yang sama dengan dua preman sebelumnya (baca Adik Terluka, Kakak Bertindak). Jika aku mengiyakan ajakannya, mungkin sebelum berangkat ke bioskop, atau sebelum mengantarkan aku pulang, dia akan membawaku ke rumahnya dengan dalih singgah sebentar untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Setelah itu aku akan ditahannya di rumahnya, kemudian…, aku tidak bisa membayangkan hal buruk apa yang mungkin saja terjadi padaku. Pikiranku menjadi dipenuhi hal yang negatif tentangnya. Namun di saat seperti ini kecurigaan seperti itu memang diperlukan. Maka dari itu aku tolak ajakannya itu.

Meski aku menolak ajakan menonton darinya, dia tetap menawarkan diri untuk mengantarkan aku pulang dengan kendaraannya. Ia membujukku bahwa sudah tidak akan ada lagi bus kota tujuan Kubang yang datang hari ini. Dia lalu menanyakan alamat rumahku yang lebih spesifik, yakni di bagian mananya Kubang. Aku semakin yakin bahwa orang ini adalah orang yang berbahaya. Sedari awal aku tidak pernah memberitahunya bahwa aku sedang menunggu bus kota tujuan Kubang. Dia yang langsung menanyaiku begitu di awal obrolan. Dengan kata lain, dia sudah sedari tadi memerhatikan aku yang mengabaikan bus kota tujuan Panam dan tujuan Pandau hingga dia mendapatkan kesimpulan bahwa aku sedang menunggu bus kota tujuan Kubang.

Maka untuk menjawab pertanyaannya itu, aku sebutkan satu-satunya daerah yang aku tahu di Kubang, yakni gang Sukma. Mendengar gang Sukma, dia langsung bilang bahwa dia tau tempat itu dan dia memiliki beberapa teman yang tinggal di sana.

Aku tidak tahu dia memang tau di mana gang Sukma itu atau dia hanya berbohong. Namun yang jelas aku juga berbohong padanya. Bahwa sejatinya aku tidak tinggal di Kubang. Untuk mencapai rumahku, dari simpang Kubang masih harus menggunakan jasa oplet (sebutan untuk angkot di kota Pekanbaru) atau berjalan kaki sekitar satu setengah kilometer. Aku berbohong perihal alamat rumahku demi menyamarkan informasi pribadiku.

Aku semakin yakin dengan kecurigaanku mengenai apa yang sebenarnya dia inginkan. Namun, janganlah aku yang menjadi objeknya, janganlah anak-anak yang menjadi objeknya, janganlah laki-laki yang menjadi objek pelampiasan hafsunya. Aku berdoa memohon perlindungan agar aku bisa segera lolos dari predator ini. Aku sangat takut akan ditodongkan senjata dari balik jaket kulitnya yang tebal itu. Kenyataan bahwa dia duduk tepat di sebelahku memberikan kesan seakan dia siap untuk menangkapku kapan saja aku berniat menghindar atau lari darinya. Dan mungkin saja dia juga memiliki komplotan di sekitar halte ini yang siap bergerak menangkapku begitu menerima aba-aba darinya. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Sementara bila malam semakin larut, semakin sedikit angkutan umum yang beroperasi, akan semakin menguntungkan dia untuk melancarkan niatnya padaku. Omong-omong mengenai angkutan umum, selama aku terjebak dalam jangkauan Jon, bus kota tujuan Panam telah melintas berkali-kali di depan halte. Namun tidak dengan bus kota tujuan Kubang, tidak sekali pun melintas. Tampaknya memang jam operasinya hari ini selesai lebih awal dari biasanya.

Pada akhirnya aku tertolong ketika seorang laki-laki tua bersepeda motor matik berwarna hitam menepi ke halte dan menanyakan arah pada Jon. Sesaat itu perhatian Jon menjadi teralihkan dariku, dan waktu yang sesaat itu aku manfaatkan sebaik-baiknya untuk melepaskan diri darinya. Aku beranjak pergi dan berjalan hingga agak jauh dari halte, kemudian memanggil taksi tanpa penumpang yang kebetulan melintas. Aku tidak membawa uang yang cukup untuk membayar tarif taksi, namun tarif taksi dapat dibayarkan setelah aku sampai di rumah. Orang tuaku yang akan aku minta untuk membayarkan tarifnya nanti. Orang tuaku mungkin akan marah ketika mengetahui aku pulang menggunakan taksi, namun cerita perihal yang aku alami hari ini mungkin akan membuat mereka bisa memaafkan aku.

Di tengah perjalanan, di dalam taksi, aku masih terpikirkan akan kejadian barusan. Mengapa bisa aku tenang membiarkan orang tadi, Jon, memegang-megang tangan kananku. Inikah yang namanya hipnotis? Aura orang tadi memang terasa berbeda.

Adik Terluka, Kakak Bertindak

Pekanbaru, 2006.

Pertengahan tahun 2006 merupakan masa di mana aku baru saja menjadi pelajar SMP kelas IX dan harus sudah memulai persiapan seleksi masuk SMA. Targetku adalah SMA negeri unggulan yang dikelola pemerintah provinsi, yang tentu saja tidak mudah mendapatkan tiket masuknya. Selain dari belajar di sekolah, aku juga mengikuti kursus Bahasa Inggris di LBPP (Lembaga Bahasa dan Pendidikan Profesional) Lia. Biasanya aku berangkat ke tempat kursus dengan diantarkan ibu. Hanya saja untuk hari ini ibu sedang tidak bisa mengantarkanku, sehingga aku harus berangkat sendiri. Aku berangkat langsung dari sekolah setelah jam kegiatan belajar selesai tanpa mengganti seragam terlebih dahulu. Jarak antara sekolah dengan tempat kursus terbilang jauh. Setidaknya perlu menggunakan jasa oplet (sebutan untuk angkot di kota Pekanbaru) sebanyak dua kali. Dan di antara dua perjalanan menggunakan oplet itu pun aku masih harus berjalan kaki lebih satu kilometer jauhnya. Bila tidak begitu, aku harus menggunakan jasa oplet hingga empat kali dan mengambil rute tempuh yang lebih panjang. Penggunaan jasa oplet yang lebih banyak tentu saja akan menelan ongkos yang lebih mahal, sementara itu belum tentu akan tiba di tujuan lebih cepat karena menunggu oplet juga menyita waktu yang tidak tentu lamanya.

Di tengah perjalanan menuju tempat kursus, saat aku sedang berjalan berpindah dari pemberhentian oplet pertama menuju tempat di mana aku bisa menemukan oplet kedua, saat aku berada di JPO (jembatan penyeberangan orang) yang melintang di atas jalan Jenderal Sudirman, seorang laki-laki menghampiri. Laki-laki itu terlihat masih muda, namun aku yakin dia lebih tua dariku. Dibandingkan aku, dia bertubuh lebih tinggi, kurus, dan berkulit lebih gelap. Rambutnya berwarna hitam gelap dan tertata namun dengan alur yang abstrak. Singkatnya, perawakannya menyerupai seorang pelajar sekolah menengah yang gaul, atau mungkin sok gaul. Dia menyapa dan mengajak aku berkenalan. Namanya Alex. Dia mengaku bersekolah di SMK negeri di sekitar situ. Salah satu sekolah menengah kejuruan paling populer di kota. Dia terlihat meyakinkan karena dia memang mengenakan celana seragam SMK tersebut. Namun tidak dengan bajunya. Dia mengenakan baju kaus berwarna putih yang bersablonkan nama band metal luar negeri. Outfit yang ngetrend abis di kalangan pelajar sekolah menengah bila keluyuran di luar sekolah.

Aku meladeni perkenalan dirinya tanpa berhenti berjalan, namun aku perlambat kecepatan jalanku untuknya. Aku tidak serta merta membalas perkenalan dirinya dengan langsung memperkenalkan balik diriku padanya. Bagiku dia sedikit mencurigakan dan aku tidak ingin berurusan banyak dengannya. Dia berkata padaku bahwa dia tengah memiliki janji dengan seorang teman untuk saling bertemu di toko buku Gramedia yang mana berada sangat dekat dengan JPO ini. Dan dia ingin aku mendampinginya untuk bertemu temannya tersebut. Aku keberatan dengan permintaannya itu.

Yang aku herankan adalah, bukankah yang ingin dia temui adalah seorang teman, sedangkan aku ini adalah orang asing baginya. Mengapa pula perlu meminta pendampingan dari orang asing untuk menemui teman sendiri. Bukankah ini terbalik? Aku pikir dia hanya ingin memanfaatkan keberadaanku sebagai tameng atau excuse di hadapan temannya nanti. Dan itu mungkin tidak akan beres buatku. Maka aku tolak dengan halus permintaannya itu. Aku katakan padanya bahwa aku sedang menuju tempat kursus yang kelasnya akan dimulai sebentar lagi. Tidak lupa aku sampaikan kata maaf dan permohonan agar dia mencari orang lain untuk menjadi pendampingnya itu. Kemudian aku pun pergi meninggalkan dia yang diam berdiri terpaku di trotoar di depan Gramedia.

Sementara aku berbelok ke jalan Pattimura yang tepat berada di sebelah Taman Makam Pahlawan, aku dikejutkan oleh suara laki-laki yang tadi lagi. Dia tiba-tiba sudah berada di sampingku. Padahal beberapa saat tadi kulihat dia masih berdiri terpaku. Tampaknya dia baru saja berlari menyusulku. Dia berkata bahwa dia telah mengurungkan niatnya untuk menemui temannya. Tapi, mengapa sekarang dia malah mengikutiku? Aku mulai merasa tidak nyaman.

Berselang beberapa waktu, dengan Alex tetap berjalan mengiringiku di sampingku, tiba-tiba saja dari arah belakang terdengar suara lantang laki-laki memanggil-manggil. Aku sempat menoleh dan melihat dua orang. Seorang berbadan kurus, bertopi hitam dan berbaju kaus hitam lengan pendek. Serta seorang lagi berbadan kekar, berambut pirang (yang tidak natural), dan berbaju kaus hitam dengan lengan baju yang sengaja dirobek. Perawakan mereka yang menyerupai preman membuatku takut.

“Abang-abang di belakang manggil kita tuh,” kata Alex padaku.
Cuekin aja,” balasku ketus.

Meski ketakutan, sebisa mungkin aku ingin terlihat bertingkah biasa sembari mengabaikan mereka yang sedari tadi berteriak memanggil-manggil. Langkah kaki pun aku atur agar tetap terlihat santai dan tidak menimbulkan kesan bahwa aku sedang menghindari mereka. Aku hanya ingin dianggap tidak mendengar, lalu mereka menyerah dan berhenti memanggil kemudian pergi. Namun yang terjadi tidak seperti harapanku. Gerak kedua orang itu cepat. Aku bisa merasakan bahwa mereka sudah semakin dekat dan berjarak hanya beberapa langkah di belakangku. Anehnya si Alex malah menghampiri mereka yang sudah semakin dekat itu, dan bodohnya aku pun ikut. Memang sudah insting manusia akan cenderung mengikuti gerakan mayoritas. Saat berjalan beriringan berdua pun, ketika salah seorang (lima puluh persennya) tiba-tiba berhenti berjalan, maka yang seorang lagi akan cenderung ikut berhenti. Dan sial, aku jadi terjebak dikelilingi dua orang preman.

Seorang dari mereka yang berambut pirang, sebut saja bang preman pirang, langsung menghardikku karena aku tidak menyahuti panggilannya, padahal ia telah memanggilku berkali-kali. Aku berkilah bahwa aku tidak tahu, kupikir orang yang dipanggilnya bukanlah aku, melainkan orang lain. Meski sebenarnya tidak ada orang lain di sekitar situ selain dari pada aku dan Alex.

“Sekolah di mana kau?” tanya bang preman pirang sambil menatap ke arah Alex.
“Di SMK dekat sini, Bang.” jawab Alex.

Bang preman pirang kemudian beralih menatap ke arahku dan melontarkan pertanyaan yang serupa. Aku jawab dengan jujur di mana aku bersekolah. Aku tidak bisa berbohong karena identitas sekolahku tertera jelas di lengan kanan baju seragamku. Dia juga menanyakan nama padaku, hal yang bahkan ke Alex dia tidak tanyakan. Dan omong-omong, baru sekarang ini aku ditanyai nama. Alex saja tidak menanyakan namaku sedari tadi. Namun untuk nama aku bisa menjawab dengan berbohong karena namaku tidak tercantum di baju seragam sekolah. Rahmat, itu nama sejuta pelajar yang pertama kali terlintas di benakku. Dia bahkan juga menanyakan aku ini kelas berapa. Aku jawab dengan jujur bahwa aku kelas IX. Namun apa-apaan ini, mengapa aku ditanyainya detail begini sementara Alex tidak.

Bang preman pirang lalu mengucapkan maaf kemudian memperkenalkan diri. Dia mengaku bernamakan Roni. Dia menjelaskan bahwa dia sebenarnya tidak memiliki maksud buruk kepadaku. Dia hanya ingin meminta bantuan dariku. Bahwa dia memiliki adik, bernama Ricky, yang kebetulan juga bersekolah di sekolah yang sama denganku. Lebih tepatnya di kelas VIII-3. Dengan kata lain, adiknya merupakan adik kelasku. Dia lalu melanjutkan cerita mengenai adiknya yang saat ini sedang sakit setelah minggu lalu dikeroyok oleh teman-teman sekolahnya. Kondisi adiknya memprihatinkan dan tak kunjung membaik. Adiknya bahkan sampai mengalami trauma dan tidak ingin ke sekolah lagi. Sejujurnya aku bisa saja memercayai ceritanya sampai di sini, karena sekolahku memang merupakan sekolah lingkungan pasar di pinggiran kota. Banyak siswanya yang ugal-ugalan dan senang dengan perkelahian. Meski begitu, jarang sekali terjadi yang namanya pengeroyokan.

Bang preman pirang pun melanjutkan bahwa dia ingin aku membantunya dengan mencari tahu siapa saja pelaku yang telah mencelakai adiknya dan melaporkan itu padanya. Mendengar hal itu, aku berpura-pura berpikir sejenak, lalu kusanggupi permintaannya meski sejujurnya aku berniat untuk tidak menepatinya. Aku hanya ingin segera berlepas diri dari mereka dan berharap tidak pernah bertemu mereka kembali. Aku akan menghindari jalanan ini di kemudian hari. Dan bila nanti mereka sampai mencariku ke sekolah, mereka akan mencari siswa yang bernamakan Rahmat, dan itu bukanlah aku. Sedang banyak sekali siswa yang bernamakan Rahmat di sekolahku.

Tiba-tiba bang preman pirang memegang pergelangan tangan kananku. Tangannya terasa begitu besar dan cengkeramannya begitu kuat. Aku semakin ketakutan namun berusaha untuk menyembunyikan ketakutanku ini. Jantungku pun berdebar semakin kencang tidak karuan.

“Kau mungkin ndak percaya sama cerita abang, kan? Kau sekarang coba ikut abang ke rumah abang di Tangkerang. Coba kau tengok sendiri gimana kondisi adek abang itu.” kata bang preman pirang lebih lanjut sambil menguatkan cengkeramannya pada pergelangan tanganku. Agaknya aku sekarang sudah bisa menebak dia berasal dari daerah mana setelah mendengar logatnya berbicara barusan.

Ndak bisa Bang kalau sekarang, aku ada les (kursus), nanti aku telat.” jawabku mengelak.
Bentar aja, nanti abang antarkan kau langsung ke tempat les kau itu pakai motor, abang jelaskan juga ke guru les kau itu kalau nanti sampai kau telat.” lanjut bang preman pirang.

Aku tetap tidak mengiyakan ajakannya. Percaya seluruh ceritanya pun tidak. Namun aku sadar aku tidak akan berdaya bila sampai terjadi adu fisik dengan mereka. Badanku kecil, sedangkan mereka besar. Aku sendiri, sedangkan mereka berdua, bukan, bertiga. Aku sangat yakin Alex juga bekerja sama dan menjebakku ke dua orang ini. Aku tidak boleh gegabah, jangan sampai mereka naik pitam. Aku sangat takut bila mereka menodongkan senjata tajam padaku, atau malah mencoba membawaku dengan paksa. Jangan sampai mereka mengetahui bahwa aku sedang ketakutan. Bila mereka tahu, mungkin mereka akan tidak segan untuk mengasariku.

Di sela-sela perdebatan aku dengan mereka, lewatlah satu rombongan pelajar SMK tempat di mana Alex mengaku bersekolah. Yang terdiri atas dua siswi dan tiga siswa. Mereka dengan serentak menyapa bang preman pirang. Mendengar sapaan mereka, bang preman pirang pun semakin berusaha meyakinkan aku bahwa dia bukanlah orang yang jahat, dan orang-orang di sekitar situ semua kenal baik dengannya. Sempat aku berpikir apa dia benar bercerita jujur mengenai derita adiknya. Namun mengingat banyaknya kejanggalan akan pertemuan aku dengan mereka hari ini di sini, kembali meyakinkan aku untuk tidak menaruh simpati pada cerita orang yang tidak dikenal.

Mungkinkah bang preman pirang menanyai setiap pelajar berseragam SMP yang melewati daerah sekitar sini satu persatu demi mencari tahu informasi mengenai pembuli adiknya? Aku tidak yakin dengan itu. Dan mengapa pula di sini? Sekolahku berada di pinggiran kota, jauh dari tempat ini yang merupakan pusat kota. Dan kalaupun aku membantunya menemukan pembuli adiknya, lantas apa yang akan dilakukannya ke pembuli adiknya itu? Tidak terkecuali juga Alex, sedari awal dia mencurigakan dan berusaha menggiringku agar bertemu dengan dua orang berbahaya ini menggunakan cerita karangannya yang receh.

Aku berharap pertolongan segera datang entah bagaimanapun bentuknya, agar aku bisa selamat dari mereka. Namun nihil. Satu-satunya kesempatan yang aku dapatkan hanyalah ketika aku melihat sebuah oplet tanpa penumpang melintas dan kebetulan supirnya menoleh ke arahku. Dengan segera aku lambaikan tangan mengisyaratkan agar oplet tersebut berhenti. Tak perduli ke mana pun jurusan yang dituju oplet itu, aku akan masuk. Dengan sentak aku tarik kuat tanganku hingga terlepas dari cengkeraman bang preman pirang, kemudian langsung berlari dan masuk ke dalam oplet yang baru saja berhenti itu. Aku katakan kepada sang supir agar segera berangkat. Mereka, bang preman pirang dkk, berteriak memanggil-manggilku. Namun untung saja mereka tidak mencoba mengejar dan menangkapku meski sebenarnya mereka sangat bisa melakukan itu. Tindakanku barusan memang sangat beresiko namun aku khawatir aku tidak mendapatkan kesempatan lagi di waktu nanti.

Keesokan harinya, di jam istirahat sekolah, aku meyempatkan diri mengunjungi kelas VIII-3 demi mencari tahu kebenaran kejadian yang berkaitan dengan Ricky, adik dari bang preman pirang, Roni. Menurut informasi yang aku peroleh, tidak ada seorang siswa pun yang bernamakan Ricky di kelas tersebut. Dan ini membuktikan bahwa cerita Roni mengenai adiknya adalah palsu.

Andaikata aku mengiyakan ajakan bang preman pirang saat itu, akan diapakan aku di tempat mereka. Bisa jadi aku akan dipalak, atau lebih parah lagi disodomi secara bergilir, atau lebih ekstrem lagi dibunuh kemudian organ-organ dalamku diambil dan dijual di pasar perdagangan organ manusia. Macam-macam kemungkinan buruk bermunculan di kepalaku. Namun yang pasti, mereka sedang berusaha menipuku dengan cerita-cerita palsu, dan dibalik itu sudah pasti memiliki niat yang tidak baik kepadaku.

Menurutku, hal yang paling masuk akal yang mereka (bang preman pirang dkk) inginkan dariku adalah barang-barang berharga yang mungkin dibawa oleh seorang pelajar sekolah menengah. Seperti uang tunai, jam tangan, handphone, laptop, dll. Jujur saja aku tidak memiliki handphone karena orang tuaku tidak membiarkanku sebelum aku berkuliah. Begitu pula dengan laptop, aku juga tidak punya. Jam tangan yang aku kenakan pun hanyalah kualitas KW. Sedangkan uang tunai yang aku bawa hanya cukup sebatas ongkos perjalanan hingga aku pulang ke rumah. Aku tidak membawa uang lebih untuk jajan karena aku tidak pernah jajan di tempat kursus. Jajanan di tempat kursus semuanya mahal karena tempat kursus itu sendiri berada di lingkungan elit perkotaan. Mungkin mereka salah mengira aku sebagai salah satu dari kalangan orang elit itu, padahal tidak. Andaikata saat itu mereka sukses memalakku, mereka pasti kecewa, karena yang dapat mereka panen dariku sungguh sangatlah sedikit. Meski begitu tentu aku juga yang akan menjadi pihak yang paling dirugikan.

Kemudian mengenai Alex, aku percaya dia memang benar-benar pelajar SMK negeri di sekitar situ. Namun tampaknya dia adalah pelajar yang bernasib malang dan sudah menjadi bahan pemalakan rutin dari preman pirang dan bertopi itu. Tampaknya lingkungan di sekitar situ telah menjadi daerah kekuasaan dua preman ini. Dan kebetulan saja di hari itu, karena Alex tidak memiliki uang (yang cukup) untuk disetorkan, maka dia mengumpankan aku sebagai syarat untuk dia selamat dari ancaman apapun yang tengah diberlakukan padanya.

Teriakan anak kecil di senja hari

Oleh DZIKRI RAMADHAN
Cerita ini berdasarkan kisah nyata dan pengalaman pribadi.


“MAYAATT…” Suara itu terdengar parau-parau. Terdengar seperti seseorang yang berteriak dengan suaranya yang hampir habis.

“Mayaaaaat……” Sekali lagi suara itu terdengar. Hanya saja sedikit lebih panjang. Kali ini terdengar menyerupai suara seorang anak laki-laki. Teriakan itu diulang-ulang.

Seorang anak laki-laki berlari dari arah hutan, melintasi lapangan luas tempat anak-anak lain sedang bermain sepak bola. Garis wajahnya terlihat ketakutan.

Beberapa laki-laki dewasa yang sedang menikmati kopi di kedai kopi pinggiran jalan memasang sikap sigap, dan dengan cepat merekapun berlari menghampiri anak yang juga sedang berlari ke arah mereka.

Selang waktu tiga puluh menit, datanglah sebuah mobil dengan desain yang mencolok. Mobil pabrikan Mitsubishi yang diberi nama Kuda, bercatkan abu-abu dengan vinil panah-panah kuning dan huruf-huruf capital putih yang dicetak tebal membentuk kata PATROLI. Itu adalah mobil polisi. Polisi-polisi berseragamkan abu-abu kecoklatan yang baru saja keluar dari mobil tersebut langsung saja memblok TKP (Tempat Kejadian Perkara).

Singkat cerita, menurut keterangan, seorang anak yang sedang bermain masuk ke semak-semak karena ingin kencing, mencari-cari pohon dan tanpa sengaja menemukan seseorang yang diduga telah tak bernyawa di sana.

‘’’’µmg’’’’

Daffit Raditya, seorang anak sekolah dasar kelas VI keluar dari pagar rumahnya. Sejak kelas IV ia sangat menggemari cerita serial detektif, bahkan ia bercita-cita jika sudah dewasa nanti ingin menjadi seorang detektif. Karena menurutnya cerita detektif itu keren.

Seorang detektif tidak boleh melewatkan kasus apapun, itu yang dipercayainya. Berita adanya mayat yang ditemukan anak kecil sore ini pun dengan cepat terdengar juga olehnya melalui serangkaian informasi dari tetangga. Isu dari mulut ke mulut yang akhirnya dengan tanpa rasa segan singgah jua di telinganya yang baru saja ia korek kemarin hari. Ia begitu bersemangat dan dengan lagak sok detektif Daffit melangkah menuju TKP. Tidak lupa ia membawa buku catatan kecil dan sebuah pena.

Continue reading “Teriakan anak kecil di senja hari”

Taare zameen par

Mungkin saya adalah penderita penyakit yang disebut disleksia. Istilah penyakit ini sebenarnya saya dapatkan setelah saya menonton film taare zameen par.

Saya baru saja menonton film bollywood yang berjudul ‘taare zameen par’. Ketika nonton film ini saya merasa seperti pemerannya adalah saya sendiri. Saya juga sering merasakan gejala disleksia. Terkait dengan masa-masa kecil saya yang sangat aneh, juga masa saya sekarang ini.

Saya sering mengalami salah baca, maka dari itu saya selalu membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk membaca sesuatu dibandingkan orang lain yang sebaya dengan saya. Saya juga sering merasa kesulitan dalam menulis, acap kali saya menuliskan huruf yang seharusnya dituliskan setelah huruf yang seharusnya saya tuliskan saat ini. Misalkan saya menulis kata ‘persahabatan’ tapi saya malah meunis ‘perhasabatan’ dan yang seperti ini sering terjadi, maka dari itu setiap kali saya menulis saya selalu menyediakan correction fluid.

Saya juga memiliki sifat susah fokus, bahkan di saat saya sedang berusaha untuk fokus. Misalkan ketika saya sedang kuliah teknik, kemudian sang dosen menceritakan suatu fenomena alam yang saya ingat pernah saya saksikan di suatu film. Lantas saya teringat dengan alur cerita film tersebut di alam khayal saya dan saya lupa kalau sedang kuliah. Akhirnya materi kuliah pun buyar dan tidak masuk ke otak saya.

Tidak tau pasti apa yang melanda saya, saya berpikir mungkin ini disleksia.

Lengkapilah peribahasa berikut ini!

Mungkin kita semua sudah pernah mendengar peribahasa berikut:

Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.

Nah, saya dulu pernah mendapatkan soal begini di lembar kerja siswa saat kelas 4 SD.

Soal : Lain padang lain ….
Jawaban saya : Lain padang lain pekanbaru

Bagi saya Padang itu kampung saya (sebenarnya Bukittinggi tapi orang di Jawa lebih kenal semua nama kota di Sumbar itu Padang).
Dan Pekanbaru tempat saya sekolah.

Sebenarnya ini tidak lucu tetapi guru saya menertawakan jawaban saya.

Masa sekolah dasar yang berliku

Saya memasuki kehidupan sekolah dasar  tanpa pernah menyelesaikan pendidikan di taman kanak-kanak. Saya pertama kali menghadapi kehidupan SD di SDN 008 Kampar Kiri, kota Lipat Kain, bulan Juli tahun 1998. Lipat kain adalah sebuah kota di propinsi Riau yang dilintasi garis khatulistiwa dan listriknya yang sering dipadamkan.

Senin (tanggal lupa, bulan Juli 1998) hari pertama saya masuk sekolah, mengenakan seragam putih-putih berdasikan hitam, saya tidak tahu entah kapan ibu saya mempersiapkan seragam ini buat saya. Saya bersandarkan dinding di ujung lorong sekolah, di samping saya ada ibu. Di depan saya ada seorang teman yang nantinya menjadi lawan berkelahi saya selama kelas satu, namanya Heru, tidak pernah diketahui nama lengkapnya tapi dulu dia sering dipanggil Heru Sintogendeng dan dia sering sekali mengaku-ngaku keturunan langsung dari gurunya Wiro Sableng.

Selama kelas satu ini uang jajan saya hanya 300 rupiah. Tetapi dulu 300 rupiah itu sudah bisa beli sepiring lotek.

Sejak kecil saya adalah orang yang sangat usil dan tidak peka. Salah satu cerita ketidakpekaan saya adalah ketika guru kelas 1 SD saya marah ke semua murid di kelasnya. Saya saat itu sama sekali tidak mendengarkan kata-kata guru saya itu, malah mengambil kertas buram, membuat kertas tersebut menyerupai kerucut dan menempelkan ujung alas kerucut tersebut ke telinga teman sebangku saya kemudian ujungnya yang lain saya tiup. Lantas guru kelas saya menegur:

Lihat dzikri ini, udah pandai usil dia.

Ketika guru saya bergumam seperti itu barulah saya sadar bahwa beliau sedang marah kepada anak-anak didiknya.

Lalu akibat keusilan ini saya saya sering mendapatkan lawan tinju di sekolah. Pernah suatu ketika ketika teman saya berusaha memanjat pohon nagka di halaman sekolah, saya menarik kakinya dan dia pun terjatuh. Lututnya terluka, dia menangis, guru pun datang, dan saya disalahkan. Teringat dengan jelas bahwa dia menyalahkan saya dan sangat ingin saya mendapatkan proses hukuman dari guru. Tetapi ternyata saya tidak dimarahi guru. Teman saya itu lututnya terluka tapi hatinya pasti lebih terluka. Dialah teman sebangku saya.

Teman saya itu lututnya terluka tapi hatinya pasti lebih terluka.

Naik kelas dua saya pindah ke Pekanbaru untuk mengadu nasib berharap mendapatkan sekolah yang lebih baik. Saya dititipkan di rumah tante saya yang saat itu masih kuliah. Saya disekolahkan di SDN 017 Pintu Angin. Ini masa peralihan saya sekolah dari desa terpencil ke ibukota, nilai saya turun semua, keusilan saya banyak tidak diperdulikan orang lain. Enaknya ada juga sih, uang jajan saya naik jadi 500 rupiah. Sebenarnya tidak naik, hanya saja 300 rupiah untuk jajan dan 200 rupiah lainnya untuk ditabung. Tetapi semuanya malah saya jajankan.

Karena kehidupan saya yang tidak beres di sana akhirnya cawu kedua saya dipindahkan ke sekolah yang berada di dekat rumah orang tua saya, SDN 030 Teratak Buluh. SD nya di luar kota sedangkan rumah saya di perbatasan kota. Untuk mencapai sekolah ini saya harus melintasi hutan, jalan bebatuan, jalan berpasir, sungai, perkebunan, padang berumput. Terkadang sebelum pulang teman-teman saya malah mandi bugil 100% dulu di sungai, saya tidak pernah karena tidak bisa berenang. Sedikitnya cerita saya SD di sini mirip dengan cerita laskar pelanginya kak Andrea Hirata.

Anehnya di sekolah ini nilai rapor saya kembali naik. Sepertinya memang saya tidak cocok bersekolah di kota. Setelah pindah sekolah dari kota saya malah lupa bagaimana caranya menjadi anak bandel kembali. Bahkan saya menjadi korban kompas. Sejak hari pertama di kelas saja saya sudah dipalak mafia kelas dan bilang kalau setiap hari saya harus menyetorkan uang 500 rupiah ke dia. Hari pertama saya kasih, hari kedua juga saya kasih, hari ketiga juga. Di hari ketiga ini si mafia kelas tiba-tiba bertanya tentang berapa sebenarnya uang jajan saya, saya jawab 500 rupiah. Entah malaikat mana yang lewat tiba-tiba saja dia merasa kasihan dengan saya dan mengembalikan 200 dari 500 rupiah uang jajan saya yang dikompasnya. Ternyata mafia pun ada sisi baiknya ya.

Kehidupan saya terbalik yang dulunya kalau diberi uang 500 rupiah, 300 dijajankan 200 sisanya ditabung, menjadi 300 disetorkan 200 buat dijajankan. Kadang kadang malah ke 500 nya dirampas.

Dulu teman sekelas saya yang seharusnya sudah kelas 5 sering mengompas saya, biasanya dia meminta 500 rupiah dan saya tidak jajan, tapi sejak dia tau uang jajan saya hanya 500 rupiah dia hanya meminta 300 rupiah dan 200 nya lagi buat saya jajan.

Sejarah aneh kehidupan

Saya dilahirkan pukul 10p.m. pada Kamis malam tanggal 15 bulan Ramadhan tahun 1412 Hijriyah dengan kondisi prematur 8 bulan di kandungan. Saya bukan orang yang cengeng, bahkan ketika lahir saja saya tidak menangis. Tapi bukan karena saya hebat tapi dulu ketika lahir saya terminum air ketuban sehingga saya harus diguncang-guncang dulu, lalu kerongkongan saya diinputkan selang demi menyedot air ketuban ibu saya.

Sejak tahun 1995 saya tinggal di kota Lipat Kain di provinsi Riau. Kota ini merupakan kota yang unik karena dilintasi oleh garis khatulistiwa. Meskipun unik tetapi kota ini sangat tidak maju. Listrik pun baru masuk di kota tersebut saat itu, dan sangat sering dipadamkan. Bahkan pernah saya mengalami liatrik padam selama 5 hari full.

Kehidupan primitif saya jalani selama tinggal di kota tersebut. Keseharian primitif yang saja jalani antara lain adalah mandi di sungai, sikat gigi di sungai, mencuci pakaian di sungai, dan buang air juga di sungai yang sama. Bahkan sering kejadian selagi mandi di sungai ada emas mengambang lewat di sungai. Bahkan saya sering sikat gigi sambil menyaksikan emas mengambang itu lewat. Apa sih emas mengambang itu? Buat yang belum tau gausah kuatir berpikiran jorok karena yang saya maksudkan memang benar-benar sangat jorok.

Masa kecil saya sangat tidak logis, sangat aneh dan hina. Saya pernah memakan lipstik milik ibu saya karena mengira bahwa lipstik itu permen. Pernah sekali saya memperhatikan ibu saya yang sedang mengenakan lipstik dan saat itu yang saya pikirkan bahwa ibu saya sedang mengunyah permen. Apalagi memperhatikan bibir ibu saya yang sengaja dirapat-rapatkan dan diemut-emutkan untuk meratakan olesan lipstiknya, menjadi sangat yakin saya bahwa itu adalah permen. Spontan saja setelah ibu saya keluar kamar langsung saya kunyah beneran itu lipstik.  Malamnya saya muntah-muntah dilanjutkan dengan sakit. Betapa bodohnya saya dulu.

Hal lainnya adalah ketika saya bermain di teras rumah. Di situ ada sebuah pipa kecil yang di dalamnya berisikan kabel-kabel listrik berwarna kuning dan biru. Kebetulan saja saat itu pipanya pecah sedikit sehingga kabelnya terlihat. Bagi saya yang saat itu berpikir sangat ngawur: “Ooh jadi mi itu terbuat dari ini.. Bagaimana ya rasanya bahan pembuat mi?”. Spontan saja saya makan itu kabel. Sorenya saya muntah-muntah mengeluarkan isolator kabel listrik yang berwarna kuning. Saat saya mengerti itu kabel dan bukan bahan pembuat mi, terpikirkan oleh saya “Untung saat itu saya tidak memakan tembaganya, jika saya makan maka kerongkongan saya akan luka.” tapi sekarang saya malah berpikir begini: “Untung saat itu kabelnya tidak berarus listrik, jika ya maka saya mati saat itu.” Terima kasih kepada PLN kota Lipat Kain karena sering memadamkan listrik.

“Untung saat itu saya tidak memakan tembaganya, jika saya makan maka kerongkongan saya akan luka.” tapi sekarang saya malah berpikir begini: “Untung saat itu kabelnya tidak berarus listrik, jika ya maka saya mati saat itu.”

Saat saya berumur 5 tahun hobi saya adalah memotong kuku. Jangan berpikiran bahwa saya adalah anak yang bersih karena saya memotong kuku dengan menggigit kemudian menelan kuku saya sendiri. Mungkin Anda menganggap saya aneh tapi saya memang hobi mencicipi segala benda yang berada di dekat saya. Untung saja saya tidak lahir dari ibu seperti Marie Curie, jika ya entah zat kimia radioaktif apa pula yang sudah saya makan.

Banyak kebiasaan saya yang lainnya. Seperti mengopek bibir kulit bibir sendiri dan menelannya, kadang-kadang hingga berdarah.

19964_1086735264545_7879084_nketika masih kecil