Bandung, 2014
Tulisan ini merupakan kilas balik ke masa di mana saya masih merupakan mahasiswa di Institut Teknologi Bandung, atau yang lebih dikenal dengan singkatannya yaitu ITB. Kala itu, tahun 2014, saya merupakan mahasiswa tingkat akhir program sarjana dari program studi Teknik Mesin di ITB. Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang sedang menggarap tugas akhir sarjana, persebaran kehadiran saya di kampus menjadi terpusat pada laboratorium di mana saya menggarap tugas akhir tersebut. Yakni Laboratorium Dinamika yang berada di lantai 1 dan lantai dasar Gedung PAU ITB. Gedung PAU ITB sendiri merupakan gedung tertinggi di ITB, yang terdiri atas delapan lantai ditambah satu lantai dasar.
Suatu hari, Rabu, lupa tanggal pastinya, saya berencana untuk melakukan pengujian prototipe yang baru saja saya selesaikan pembuatannya. Namun sebagai warga laboratorium, tanggung jawab saya bukan hanya mengerjakan proyek individu, saya juga harus menjadi asisten praktikum, mengoreksi PR dan kuis mahasiswa, mengawas ujian, serta membantu pengerjaan proyek-proyek laboratorium. Selain itu terdapat juga antrian karena harus berbagi tempat dengan pengujian lain dan praktikum. Maka hari itu saya terpaksa mengalah dan menomorduakan kepentingan pribadi. Sehingga pengujian yang saya rencanakan pun baru dapat dimulai setelah jam makan malam, ketika semua warga laboratorium selain saya telah pulang.
Pengujian dan pengambilan data dilakukan cukup banyak dengan tujuan agar saya dapat memodelkan perilaku prototipe sebaik mungkin. Selain itu juga demi keabsahan analisis karena saya sendiri tidak yakin dengan kualitas prototipe yang saya buat itu. Dan tentu saja pengujian ini memakan waktu yang cukup banyak. Saya sendiri sudah mempersiapkan diri untuk menginap di laboratorium hari itu jika pengujian berlangsung hingga larut malam. Bagaimana mungkin tidak hingga larut malam, dimulainya saja setelah jam makan malam. Namun di samping itu, selain dari pada untuk menguji prototipe, ada alasan lain bagi saya untuk menginap hari itu. Yaitu keinginan saya untuk sekali saja merasakan bagaimana menginap di laboratorium. Maka benar terjadilah saya menginap malam itu. Sendirian.
Singkat cerita, sesuai dugaan, pengujian berlangsung hingga lewat tengah malam. Hari pun berganti menjadi Kamis. Saat itu, kira-kira pukul 02:00 dini hari, saya teringat bahwa saya belum melaksanakan ibadah salat isya. Maka saya tinggalkan sementara pengujian untuk melaksanakan salat. Sebelum itu, tidak lupa saya putuskan aliran catu daya listrik yang menyuplai pengujian untuk berjaga-jaga. Setelah memastikan keadaan laboratorium aman untuk ditinggalkan, saya pun memadamkan lampu, lalu keluar, dan mengunci pintu laboratorium.
Saya berangkat menuju musala Gedung PAU yang berada di lantai empat. Lorong dan koridor gedung gelap. Lampu-lampu lorong semuanya padam. Sehingga, untuk melihat, saya hanya dapat mengandalkan sinar pantulan bulan yang masuk melalui bagian tengah gedung yang tidak beratap. Sepanjang saya memandang, tidak terlihat satu ruangan pun dengan lampu yang menyala. Mengisyaratkan bahwa tidak ada manusia lain selain saya di gedung itu saat itu.
Gedung PAU dilengkapi dua elevator di bagian depan dan bagian belang gedung. Biasanya warga ITB, termasuk saya, memanfaatkan elevator ini untuk berpindah dari satu lantai ke lantai lainnya di Gedung PAU. Namun malam itu saya sengaja tidak menggunakan elevator, demi menghidari kejadian bilamana terdapat malfungsi dan saya terjebak di elevator semalaman karena tidak ada yang akan menolong sebelum datangnya pagi. Meski perihal melevator malfungsi ini tidak pernah saya dengar selama berkuliah di ITB, tapi ada baiknya mencegah skenario buruk yang mungkin saja terjadi. Maka dari itu saya pun menggunakan tangga belakang Gedung PAU untuk mencapai lantai empat, dari lantai satu. Saya memilih menggunakan tangga belakang karena bagian belakang gedung lebih terang oleh sinar pantulan bulan yang masuk dari bagian belang gedung. Bagian belakang Gedung PAU dipenuhi oleh kaca dan tidak terhalang bangunan apapun. Kebetulan, saat itu, Gedung Serba Guna (GSG) sudah diruntuhkan dan sedang dilaksanakan pembangunan gedung baru.
Suasana yang remang-remang dan kesendirian saat itu membuat pikiran-pikiran seram pun bermunculan. Terlebih lagi, karena Gedung PAU ini sendiri memiliki banyak mitos angker. Banyak cerita-cerita seram mengenai Gedung PAU yang diwariskan turun-temurun di kalangan mahasiswa ITB.
Keadaan di dalam gedung benar-benar berbeda dengan siang hari di mana terdapat banyak suara bising yang memenuhi telinga. Sementara pada dini hari, benar-benar sunyi. Langkah kaki saat menaiki tangga pun terdengar dengan sangat jelas. Bahkan di beberapa titik, suara langkah kaki terdengar menggema. Pengetahuan saya di bidang sains memang mengatakan bahwa yang saya dengar itu adalah gema, atau gaung. Namun nyali kecil saya bertanya-tanya hal yang tidak pada saatnya.
“Apa benar itu gema? Bukan suara langkah dari sesuatu yang mengikuti di belakang?”
Di tengah ketakutan yang muncul, saya tidak dapat berhenti dan hanya bisa meneruskan langkah demi langkah. Anak tangga demi anak tangga pun berubah menjadi dua anak tangga demi dua anak tangga. Langkah-langkah besar mulai saya ambil hingga saya sampai di lantai empat dengan selamat. Saya pun langsung ke tempat wudhu yang mana menyatu dengan toilet.
Saya berwudhu tanpa penerangan lampu karena saya tidak tahu di mana letak sakelar lampu di dalam toilet. Saya hanya mengandalkan ingatan akan tatanan interior di dalam toilet, perkiraan jarak, serta indera peraba. Seusai berwudhu saya langsung memasuki musala dan melaksanakan salat isya.
Di Gedung PAU ini mushala laki-laki dan perempuan sebenarnya adalah ruangan yang sama namun dibagi menjadi dua. Dikarenakan bentuk ruangan mushala yang memanjang ke samping terhadap arah kiblat, musala bagian laki-laki dan bagian perempuan diposisikan menjadi bersebelahan, dan dipisahkan oleh sekat-sekat hijab yang tingginya hampir menyamai tinggi badan saya.
Lagi-lagi karena saya tidak tahu di mana letak sakelar lampu di dalam musala, saya pun menunaikan salat isya juga tanpa penerangan. Mungkin pembaca dibingungkan dengan sikap saya ini. Mengapa saya tidak berusaha mencari sakelar lampu dengan memanfaatkan fungsi flashlight yang ada di smartphone. Perlu diketahui bahwa pada zaman itu persebaran smartphone tidak sebanyak saat ini. Tidak semua orang punya, dan saya termasuk salah seorang yang tidak memiliki smartphone. Saya saat itu masih betah menggunakan ponsel lipat Samsung C3520 di mana tidak ada fungsi flashlight di ponsel tersebut.
Perasaan tak mengenakkan muncul beberapa saat setelah saya memulai salat. Seakan kehadiran sesuatu di musala bagian perempuan. Perasaan ini sempat membuat bulu kuduk berdiri dan tentunya mengganggu kekhusyukan salat. Saya juga tidak mengerti dengan bagaimana saya merasakannya, sedang saya tidak melihat maupun mendengar apapun. Mungkin ini mirip dengan perasaan sedang diamati atau dibuntuti oleh seseorang meski kita tidak yakin. Terkadang benar namun seringnya salah. Saya hanya dapat berusaha untuk tidak berpikir yang macam-macam. Dan dengan kekuatan hati serta perlindungan dari Allah, saya berhasil menyelesaikan shalat tanpa gangguan yang berarti. Namun perasaan sedari tadi akan kehadiran sesuatu di mushala perempuan itu tetap tidak bisa saya elakkan. Lalu bodohnya, karena digiring oleh rasa penasaran yang sangat, saya pun berdiri, menjinjit meninggikan badan agar kepala saya lebih tinggi dari hijab pemisah, dan saya pun mengintip ke mushala bagian perempuan untuk melihat ada apa sebenarnya di balik pembatas itu. Dan alangkah terkejutnya saya akan apa yang saya lihat.
Saya melihat tiga pocong sedang berbaring di sana.
Saking terkejutnya, saya sampai tidak dapat berlari. Kaki saya terkunci, mata saya terpejam. Saya hanya berserah diri sambil berzikir menyebut-nyebut kebesaran Allah. Hal terburuk adalah, pocong-pocong itu mungkin saja akan menyerang saya. Mereka bertiga, sedangkan saya hanya sendiri di gedung ini, dan saya tidak punya perlindungan apa-apa selain dari pada Allah.
Setelah memejam mata cukup lama dan bacaan ayat kursi selesai, sembari melanjutkan zikir, saya beranikan untuk membuka mata. Dan benar saja, pocong yang saya lihat tadi bukanlah halusinasi. Makhluk-makhluk itu masih berada di situ. Tidak beranjak sedikitpun seolah mereka tidak terusik sama sekali akan keharidan saya.
Mereka semakin jelas terlihat karena mata saya pun semakin terbiasa di ruangan gelap. Saya pun harus menerima kenyataan bahwa saya tidak sendirian. Bahwa ternyata ada penghuni lain Gedung PAU ITB. Yaitu tiga karyawan ISS yang juga menginap di kampus. Mereka tidur di mushala perempuan Gedung PAU ITB sambil mengenakan mukena berwarna putih berlapis-lapis yang tersedia di mushala layaknya orang berkemah tidur mengenakan sleeping bag agar tubuh mereka tidak kedinginan.
Jadi pesan saya teruntuk adik-adik mahasiswi di ITB, sebaiknya selalu menggunakan mukena pribadi bila hendak sholat di musala kampus karena mukena yang tersedia di kampus terkadang dipakai tidur oleh laki-laki yang menginap di kampus.