Penghuni Lain Gedung PAU ITB

Bandung, 2014

Tulisan ini merupakan kilas balik ke masa di mana saya masih merupakan mahasiswa di Institut Teknologi Bandung, atau yang lebih dikenal dengan singkatannya yaitu ITB. Kala itu, tahun 2014, saya merupakan mahasiswa tingkat akhir program sarjana dari program studi Teknik Mesin di ITB. Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang sedang menggarap tugas akhir sarjana, persebaran kehadiran saya di kampus menjadi terpusat pada laboratorium di mana saya menggarap tugas akhir tersebut. Yakni Laboratorium Dinamika yang berada di lantai 1 dan lantai dasar Gedung PAU ITB. Gedung PAU ITB sendiri merupakan gedung tertinggi di ITB, yang terdiri atas delapan lantai ditambah satu lantai dasar.

Suatu hari, Rabu, lupa tanggal pastinya, saya berencana untuk melakukan pengujian prototipe yang baru saja saya selesaikan pembuatannya. Namun sebagai warga laboratorium, tanggung jawab saya bukan hanya mengerjakan proyek individu, saya juga harus menjadi asisten praktikum, mengoreksi PR dan kuis mahasiswa, mengawas ujian, serta membantu pengerjaan proyek-proyek laboratorium. Selain itu terdapat juga antrian karena harus berbagi tempat dengan pengujian lain dan praktikum. Maka hari itu saya terpaksa mengalah dan menomorduakan kepentingan pribadi. Sehingga pengujian yang saya rencanakan pun baru dapat dimulai setelah jam makan malam, ketika semua warga laboratorium selain saya telah pulang.

Pengujian dan pengambilan data dilakukan cukup banyak dengan tujuan agar saya dapat memodelkan perilaku prototipe sebaik mungkin. Selain itu juga demi keabsahan analisis karena saya sendiri tidak yakin dengan kualitas prototipe yang saya buat itu. Dan tentu saja pengujian ini memakan waktu yang cukup banyak. Saya sendiri sudah mempersiapkan diri untuk menginap di laboratorium hari itu jika pengujian berlangsung hingga larut malam. Bagaimana mungkin tidak hingga larut malam, dimulainya saja setelah jam makan malam. Namun di samping itu, selain dari pada untuk menguji prototipe, ada alasan lain bagi saya untuk menginap hari itu. Yaitu keinginan saya untuk sekali saja merasakan bagaimana menginap di laboratorium. Maka benar terjadilah saya menginap malam itu. Sendirian.

Singkat cerita, sesuai dugaan, pengujian berlangsung hingga lewat tengah malam. Hari pun berganti menjadi Kamis. Saat itu, kira-kira pukul 02:00 dini hari, saya teringat bahwa saya belum melaksanakan ibadah salat isya. Maka saya tinggalkan sementara pengujian untuk melaksanakan salat. Sebelum itu, tidak lupa saya putuskan aliran catu daya listrik yang menyuplai pengujian untuk berjaga-jaga. Setelah memastikan keadaan laboratorium aman untuk ditinggalkan, saya pun memadamkan lampu, lalu keluar, dan mengunci pintu laboratorium.

Saya berangkat menuju musala Gedung PAU yang berada di lantai empat. Lorong dan koridor gedung gelap. Lampu-lampu lorong semuanya padam. Sehingga, untuk melihat, saya hanya dapat mengandalkan sinar pantulan bulan yang masuk melalui bagian tengah gedung yang tidak beratap. Sepanjang saya memandang, tidak terlihat satu ruangan pun dengan lampu yang menyala. Mengisyaratkan bahwa tidak ada manusia lain selain saya di gedung itu saat itu.

Gedung PAU dilengkapi dua elevator di bagian depan dan bagian belang gedung. Biasanya warga ITB, termasuk saya, memanfaatkan elevator ini untuk berpindah dari satu lantai ke lantai lainnya di Gedung PAU. Namun malam itu saya sengaja tidak menggunakan elevator, demi menghidari kejadian bilamana terdapat malfungsi dan saya terjebak di elevator semalaman karena tidak ada yang akan menolong sebelum datangnya pagi. Meski perihal melevator malfungsi ini tidak pernah saya dengar selama berkuliah di ITB, tapi ada baiknya mencegah skenario buruk yang mungkin saja terjadi. Maka dari itu saya pun menggunakan tangga belakang Gedung PAU untuk mencapai lantai empat, dari lantai satu. Saya memilih menggunakan tangga belakang karena bagian belakang gedung lebih terang oleh sinar pantulan bulan yang masuk dari bagian belang gedung. Bagian belakang Gedung PAU dipenuhi oleh kaca dan tidak terhalang bangunan apapun. Kebetulan, saat itu, Gedung Serba Guna (GSG) sudah diruntuhkan dan sedang dilaksanakan pembangunan gedung baru.

Suasana yang remang-remang dan kesendirian saat itu membuat pikiran-pikiran seram pun bermunculan. Terlebih lagi, karena Gedung PAU ini sendiri memiliki banyak mitos angker. Banyak cerita-cerita seram mengenai Gedung PAU yang diwariskan turun-temurun di kalangan mahasiswa ITB.

Keadaan di dalam gedung benar-benar berbeda dengan siang hari di mana terdapat banyak suara bising yang memenuhi telinga. Sementara pada dini hari, benar-benar sunyi. Langkah kaki saat menaiki tangga pun terdengar dengan sangat jelas. Bahkan di beberapa titik, suara langkah kaki terdengar menggema. Pengetahuan saya di bidang sains memang mengatakan bahwa yang saya dengar itu adalah gema, atau gaung. Namun nyali kecil saya bertanya-tanya hal yang tidak pada saatnya.

“Apa benar itu gema? Bukan suara langkah dari sesuatu yang mengikuti di belakang?”

Di tengah ketakutan yang muncul, saya tidak dapat berhenti dan hanya bisa meneruskan langkah demi langkah. Anak tangga demi anak tangga pun berubah menjadi dua anak tangga demi dua anak tangga. Langkah-langkah besar mulai saya ambil hingga saya sampai di lantai empat dengan selamat. Saya pun langsung ke tempat wudhu yang mana menyatu dengan toilet.

Saya berwudhu tanpa penerangan lampu karena saya tidak tahu di mana letak sakelar lampu di dalam toilet. Saya hanya mengandalkan ingatan akan tatanan interior di dalam toilet, perkiraan jarak, serta indera peraba. Seusai berwudhu saya langsung memasuki musala dan melaksanakan salat isya.

Di Gedung PAU ini mushala laki-laki dan perempuan sebenarnya adalah ruangan yang sama namun dibagi menjadi dua. Dikarenakan bentuk ruangan mushala yang memanjang ke samping terhadap arah kiblat, musala bagian laki-laki dan bagian perempuan diposisikan menjadi bersebelahan, dan dipisahkan oleh sekat-sekat hijab yang tingginya hampir menyamai tinggi badan saya.

Lagi-lagi karena saya tidak tahu di mana letak sakelar lampu di dalam musala, saya pun menunaikan salat isya juga tanpa penerangan. Mungkin pembaca dibingungkan dengan sikap saya ini. Mengapa saya tidak berusaha mencari sakelar lampu dengan memanfaatkan fungsi flashlight yang ada di smartphone. Perlu diketahui bahwa pada zaman itu persebaran smartphone tidak sebanyak saat ini. Tidak semua orang punya, dan saya termasuk salah seorang yang tidak memiliki smartphone. Saya saat itu masih betah menggunakan ponsel lipat Samsung C3520 di mana tidak ada fungsi flashlight di ponsel tersebut.

Perasaan tak mengenakkan muncul beberapa saat setelah saya memulai salat. Seakan kehadiran sesuatu di musala bagian perempuan. Perasaan ini sempat membuat bulu kuduk berdiri dan tentunya mengganggu kekhusyukan salat. Saya juga tidak mengerti dengan bagaimana saya merasakannya, sedang saya tidak melihat maupun mendengar apapun. Mungkin ini mirip dengan perasaan sedang diamati atau dibuntuti oleh seseorang meski kita tidak yakin. Terkadang benar namun seringnya salah. Saya hanya dapat berusaha untuk tidak berpikir yang macam-macam. Dan dengan kekuatan hati serta perlindungan dari Allah, saya berhasil menyelesaikan shalat tanpa gangguan yang berarti. Namun perasaan sedari tadi akan kehadiran sesuatu di mushala perempuan itu tetap tidak bisa saya elakkan. Lalu bodohnya, karena digiring oleh rasa penasaran yang sangat, saya pun berdiri, menjinjit meninggikan badan agar kepala saya lebih tinggi dari hijab pemisah, dan saya pun mengintip ke mushala bagian perempuan untuk melihat ada apa sebenarnya di balik pembatas itu. Dan alangkah terkejutnya saya akan apa yang saya lihat.

Saya melihat tiga pocong sedang berbaring di sana.

Saking terkejutnya, saya sampai tidak dapat berlari. Kaki saya terkunci, mata saya terpejam. Saya hanya berserah diri sambil berzikir menyebut-nyebut kebesaran Allah. Hal terburuk adalah, pocong-pocong itu mungkin saja akan menyerang saya. Mereka bertiga, sedangkan saya hanya sendiri di gedung ini, dan saya tidak punya perlindungan apa-apa selain dari pada Allah.

Setelah memejam mata cukup lama dan bacaan ayat kursi selesai, sembari melanjutkan zikir, saya beranikan untuk membuka mata. Dan benar saja, pocong yang saya lihat tadi bukanlah halusinasi. Makhluk-makhluk itu masih berada di situ. Tidak beranjak sedikitpun seolah mereka tidak terusik sama sekali akan keharidan saya.

Mereka semakin jelas terlihat karena mata saya pun semakin terbiasa di ruangan gelap. Saya pun harus menerima kenyataan bahwa saya tidak sendirian. Bahwa ternyata ada penghuni lain Gedung PAU ITB. Yaitu tiga karyawan ISS yang juga menginap di kampus. Mereka tidur di mushala perempuan Gedung PAU ITB sambil mengenakan mukena berwarna putih berlapis-lapis yang tersedia di mushala layaknya orang berkemah tidur mengenakan sleeping bag agar tubuh mereka tidak kedinginan.

Jadi pesan saya teruntuk adik-adik mahasiswi di ITB, sebaiknya selalu menggunakan mukena pribadi bila hendak sholat di musala kampus karena mukena yang tersedia di kampus terkadang dipakai tidur oleh laki-laki yang menginap di kampus.

Advertisement

Perkenalkan, Namaku Jon

Pekanbaru, 2006.

Suatu Sabtu sore, seusai mengikuti kursus Bahasa Inggris, sebelum pulang ke rumah aku singgah ke toko buku Gramedia untuk membaca komik dan sekedar melihat-lihat. Kemudian sekitar pukul enam tiga puluh sore, setelah menunaikan ibadah salat magrib di musala Gramedia yang sempit, aku bergegas pulang.

Aku menunggu bus kota tujuan Kubang di halte bus di depan Gramedia. Bus kota yang aku tunggu belum terlihat sejak aku duduk di halte ini, yakni sejak dari sepuluh menit yang lalu. Bus kota tujuan Kubang jumlahnya memang sedikit dan selesai beroperasi lebih awal dibadingkan bus kota tujuan lain. Namun biasanya masih beroperasi hingga pukul delapan malam sedangkan angkutan umum lain beroperasi hingga pukul sembilan malam. Yang jelas tidak ada jadwal yang jelas mengenai angkutan kota di kota ini. Maka aku kekeuh untuk menunggu bus kota tujuan Kubang hingga pukul tujuh malam. Pasalnya, ongkos perjalananku akan lebih murah bila aku menggunakan jasa bus kota tujuan Kubang. Namun hingga jam tanganku menunjukkan pukul sembilan belas lewat lima belas pun, bus kota yang ditunggu tak juga datang. Aku menyerah dan berubah pikiran untuk menggunakan jasa bus kota tujuan Panam yang sedari tadi beberapa kali berlalu di hadapanku. Tidak mengapalah kali ini membayar lebih mahal dua ribu rupiah, pikirku menyabarkan hati. Aku berencana untuk menaiki bus kota yang datang selanjutnya, entah itu tujuan Kubang atau pun tujuan Panam, aku akan naik. Namun ternyata bus kota yang datang selanjutnya malah tujuan Pandau. Mungkin aku harus menunggu sedikit lebih lama lagi di halte ini.

Seorang pria datang dan duduk di kursi kosong yang tepat berada di sebelah kananku. Tidak biasanya orang yang datang belakangan mengambil tempat duduk yang bersebelahan dengan orang yang sedang duduk. Padahal sebelumnya, di halte ini hanya ada aku seorang dan ada beberapa kursi lain yang juga kosong yang berjarak dariku, terlebih lagi aku duduk di kursi yang paling pojok. Kami juga tidak saling mengenal, setidaknya begitu yang aku yakini.

Dari paras wajahnya, aku memperkirakan pria yang baru datang ini sudah cukup berumur. Mungkin hampir seusia ayahku. Dia mengenakan setelan pakaian yang rapi. Jaket kulit berwarna cokelat muda yang kelihatannya mahal, serta celana jeans berwarna biru gelap. Tercium semerbak parfum darinya. Aroma yang agak berlebihan menurutku.

“Lagi nunggu bus Kubang, ya?” tanyanya padaku.
“Iya, Om.”
“Oh, iya, aku Jon.”

Jon mengulurkan tangan kanannya seraya mengajakku berjabat tangan. Ketika berjabat tangan, dia langsung memegang tangan kananku dengan kedua tangannya. Beberapa orang memang menggunakan gestur ini saat berjabat tangan. Aku pun begitu bila berjabat tangan dengan orang yang lebih tua dariku. Gestur ini memberikan kesan lebih sopan. Namun aku jarang menggunakan gestur ini ke orang yang belum aku kenal sebagai upaya untuk membatasi kontak fisik.

Jon tidak melepaskan tangan kananku dari kedua tangannya. Padahal jabat tangan ini seharusnya sudah usai. Dia malah mengelus-elus dengan lembut telapak tanganku, kemudian meraba kuku jempolku, serta mencoba mengukur besar lingkar yang dapat dibentuk dari jari jempol dan jari telunjukku.

“Anunya besar, ya?” tanyanya sambil berbisik.

Aku terkejut dan langsung menarik kuat tangan kananku agar lepas dari kedua tangannya. Aku bukanlah anak polos yang tidak mengerti maksud dari pertanyaan yang disampaikannya dengan berbisik tadi. Beberapa laki-laki memang suka bercanda biru kepada teman akrabnya. Baru kali ini aku bertemu individu yang bercanda biru ke orang yang baru ditemuinya. Aku diam dan enggan menjawab pertanyaannya vulgarnya tadi. Aku alihkan pandanganku darinya.

Mengetahui bahwa aku tidak suka dengan pertanyaan yang dilontarkannya tadi, Jon pun mengubah topik permbicaraan. Dia berkata bahwa sebenarnya dia ingin menonton suatu film di bioskop Studio 88 di Plaza Citra namun tidak memiliki teman yang dapat diajak menonton bersama. Maka dia mencoba mengajakku menemaninya menonton. Dalam sekelebat mata aku langsung paham akan keinginannya. Kenyataan bahwa dia mengenakan setelan pakaian yang rapi, serta aroma parfum yang pekat dan masih baru belum bercampur keringat. Bahwa dia menginginkan kencan atau semacamnya. Terlebih lagi malam ini tidak lain merupakan malam minggu.

Dia juga menawarkan diri untuk mengantarkan aku pulang karena setelah film di bioskop selesai, tentu sudah tidak akan ada angkutan umum yang beroperasi. Dia juga menawarkan diri bahwa dia yang akan menjelaskan langsung ke ayahku agar aku tidak dimarahi saat telat pulang ke rumah karena menemaninya menonton. Trik basi. Trik yang sama dengan dua preman sebelumnya (baca Adik Terluka, Kakak Bertindak). Jika aku mengiyakan ajakannya, mungkin sebelum berangkat ke bioskop, atau sebelum mengantarkan aku pulang, dia akan membawaku ke rumahnya dengan dalih singgah sebentar untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Setelah itu aku akan ditahannya di rumahnya, kemudian…, aku tidak bisa membayangkan hal buruk apa yang mungkin saja terjadi padaku. Pikiranku menjadi dipenuhi hal yang negatif tentangnya. Namun di saat seperti ini kecurigaan seperti itu memang diperlukan. Maka dari itu aku tolak ajakannya itu.

Meski aku menolak ajakan menonton darinya, dia tetap menawarkan diri untuk mengantarkan aku pulang dengan kendaraannya. Ia membujukku bahwa sudah tidak akan ada lagi bus kota tujuan Kubang yang datang hari ini. Dia lalu menanyakan alamat rumahku yang lebih spesifik, yakni di bagian mananya Kubang. Aku semakin yakin bahwa orang ini adalah orang yang berbahaya. Sedari awal aku tidak pernah memberitahunya bahwa aku sedang menunggu bus kota tujuan Kubang. Dia yang langsung menanyaiku begitu di awal obrolan. Dengan kata lain, dia sudah sedari tadi memerhatikan aku yang mengabaikan bus kota tujuan Panam dan tujuan Pandau hingga dia mendapatkan kesimpulan bahwa aku sedang menunggu bus kota tujuan Kubang.

Maka untuk menjawab pertanyaannya itu, aku sebutkan satu-satunya daerah yang aku tahu di Kubang, yakni gang Sukma. Mendengar gang Sukma, dia langsung bilang bahwa dia tau tempat itu dan dia memiliki beberapa teman yang tinggal di sana.

Aku tidak tahu dia memang tau di mana gang Sukma itu atau dia hanya berbohong. Namun yang jelas aku juga berbohong padanya. Bahwa sejatinya aku tidak tinggal di Kubang. Untuk mencapai rumahku, dari simpang Kubang masih harus menggunakan jasa oplet (sebutan untuk angkot di kota Pekanbaru) atau berjalan kaki sekitar satu setengah kilometer. Aku berbohong perihal alamat rumahku demi menyamarkan informasi pribadiku.

Aku semakin yakin dengan kecurigaanku mengenai apa yang sebenarnya dia inginkan. Namun, janganlah aku yang menjadi objeknya, janganlah anak-anak yang menjadi objeknya, janganlah laki-laki yang menjadi objek pelampiasan hafsunya. Aku berdoa memohon perlindungan agar aku bisa segera lolos dari predator ini. Aku sangat takut akan ditodongkan senjata dari balik jaket kulitnya yang tebal itu. Kenyataan bahwa dia duduk tepat di sebelahku memberikan kesan seakan dia siap untuk menangkapku kapan saja aku berniat menghindar atau lari darinya. Dan mungkin saja dia juga memiliki komplotan di sekitar halte ini yang siap bergerak menangkapku begitu menerima aba-aba darinya. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Sementara bila malam semakin larut, semakin sedikit angkutan umum yang beroperasi, akan semakin menguntungkan dia untuk melancarkan niatnya padaku. Omong-omong mengenai angkutan umum, selama aku terjebak dalam jangkauan Jon, bus kota tujuan Panam telah melintas berkali-kali di depan halte. Namun tidak dengan bus kota tujuan Kubang, tidak sekali pun melintas. Tampaknya memang jam operasinya hari ini selesai lebih awal dari biasanya.

Pada akhirnya aku tertolong ketika seorang laki-laki tua bersepeda motor matik berwarna hitam menepi ke halte dan menanyakan arah pada Jon. Sesaat itu perhatian Jon menjadi teralihkan dariku, dan waktu yang sesaat itu aku manfaatkan sebaik-baiknya untuk melepaskan diri darinya. Aku beranjak pergi dan berjalan hingga agak jauh dari halte, kemudian memanggil taksi tanpa penumpang yang kebetulan melintas. Aku tidak membawa uang yang cukup untuk membayar tarif taksi, namun tarif taksi dapat dibayarkan setelah aku sampai di rumah. Orang tuaku yang akan aku minta untuk membayarkan tarifnya nanti. Orang tuaku mungkin akan marah ketika mengetahui aku pulang menggunakan taksi, namun cerita perihal yang aku alami hari ini mungkin akan membuat mereka bisa memaafkan aku.

Di tengah perjalanan, di dalam taksi, aku masih terpikirkan akan kejadian barusan. Mengapa bisa aku tenang membiarkan orang tadi, Jon, memegang-megang tangan kananku. Inikah yang namanya hipnotis? Aura orang tadi memang terasa berbeda.

Adik Terluka, Kakak Bertindak

Pekanbaru, 2006.

Pertengahan tahun 2006 merupakan masa di mana aku baru saja menjadi pelajar SMP kelas IX dan harus sudah memulai persiapan seleksi masuk SMA. Targetku adalah SMA negeri unggulan yang dikelola pemerintah provinsi, yang tentu saja tidak mudah mendapatkan tiket masuknya. Selain dari belajar di sekolah, aku juga mengikuti kursus Bahasa Inggris di LBPP (Lembaga Bahasa dan Pendidikan Profesional) Lia. Biasanya aku berangkat ke tempat kursus dengan diantarkan ibu. Hanya saja untuk hari ini ibu sedang tidak bisa mengantarkanku, sehingga aku harus berangkat sendiri. Aku berangkat langsung dari sekolah setelah jam kegiatan belajar selesai tanpa mengganti seragam terlebih dahulu. Jarak antara sekolah dengan tempat kursus terbilang jauh. Setidaknya perlu menggunakan jasa oplet (sebutan untuk angkot di kota Pekanbaru) sebanyak dua kali. Dan di antara dua perjalanan menggunakan oplet itu pun aku masih harus berjalan kaki lebih satu kilometer jauhnya. Bila tidak begitu, aku harus menggunakan jasa oplet hingga empat kali dan mengambil rute tempuh yang lebih panjang. Penggunaan jasa oplet yang lebih banyak tentu saja akan menelan ongkos yang lebih mahal, sementara itu belum tentu akan tiba di tujuan lebih cepat karena menunggu oplet juga menyita waktu yang tidak tentu lamanya.

Di tengah perjalanan menuju tempat kursus, saat aku sedang berjalan berpindah dari pemberhentian oplet pertama menuju tempat di mana aku bisa menemukan oplet kedua, saat aku berada di JPO (jembatan penyeberangan orang) yang melintang di atas jalan Jenderal Sudirman, seorang laki-laki menghampiri. Laki-laki itu terlihat masih muda, namun aku yakin dia lebih tua dariku. Dibandingkan aku, dia bertubuh lebih tinggi, kurus, dan berkulit lebih gelap. Rambutnya berwarna hitam gelap dan tertata namun dengan alur yang abstrak. Singkatnya, perawakannya menyerupai seorang pelajar sekolah menengah yang gaul, atau mungkin sok gaul. Dia menyapa dan mengajak aku berkenalan. Namanya Alex. Dia mengaku bersekolah di SMK negeri di sekitar situ. Salah satu sekolah menengah kejuruan paling populer di kota. Dia terlihat meyakinkan karena dia memang mengenakan celana seragam SMK tersebut. Namun tidak dengan bajunya. Dia mengenakan baju kaus berwarna putih yang bersablonkan nama band metal luar negeri. Outfit yang ngetrend abis di kalangan pelajar sekolah menengah bila keluyuran di luar sekolah.

Aku meladeni perkenalan dirinya tanpa berhenti berjalan, namun aku perlambat kecepatan jalanku untuknya. Aku tidak serta merta membalas perkenalan dirinya dengan langsung memperkenalkan balik diriku padanya. Bagiku dia sedikit mencurigakan dan aku tidak ingin berurusan banyak dengannya. Dia berkata padaku bahwa dia tengah memiliki janji dengan seorang teman untuk saling bertemu di toko buku Gramedia yang mana berada sangat dekat dengan JPO ini. Dan dia ingin aku mendampinginya untuk bertemu temannya tersebut. Aku keberatan dengan permintaannya itu.

Yang aku herankan adalah, bukankah yang ingin dia temui adalah seorang teman, sedangkan aku ini adalah orang asing baginya. Mengapa pula perlu meminta pendampingan dari orang asing untuk menemui teman sendiri. Bukankah ini terbalik? Aku pikir dia hanya ingin memanfaatkan keberadaanku sebagai tameng atau excuse di hadapan temannya nanti. Dan itu mungkin tidak akan beres buatku. Maka aku tolak dengan halus permintaannya itu. Aku katakan padanya bahwa aku sedang menuju tempat kursus yang kelasnya akan dimulai sebentar lagi. Tidak lupa aku sampaikan kata maaf dan permohonan agar dia mencari orang lain untuk menjadi pendampingnya itu. Kemudian aku pun pergi meninggalkan dia yang diam berdiri terpaku di trotoar di depan Gramedia.

Sementara aku berbelok ke jalan Pattimura yang tepat berada di sebelah Taman Makam Pahlawan, aku dikejutkan oleh suara laki-laki yang tadi lagi. Dia tiba-tiba sudah berada di sampingku. Padahal beberapa saat tadi kulihat dia masih berdiri terpaku. Tampaknya dia baru saja berlari menyusulku. Dia berkata bahwa dia telah mengurungkan niatnya untuk menemui temannya. Tapi, mengapa sekarang dia malah mengikutiku? Aku mulai merasa tidak nyaman.

Berselang beberapa waktu, dengan Alex tetap berjalan mengiringiku di sampingku, tiba-tiba saja dari arah belakang terdengar suara lantang laki-laki memanggil-manggil. Aku sempat menoleh dan melihat dua orang. Seorang berbadan kurus, bertopi hitam dan berbaju kaus hitam lengan pendek. Serta seorang lagi berbadan kekar, berambut pirang (yang tidak natural), dan berbaju kaus hitam dengan lengan baju yang sengaja dirobek. Perawakan mereka yang menyerupai preman membuatku takut.

“Abang-abang di belakang manggil kita tuh,” kata Alex padaku.
Cuekin aja,” balasku ketus.

Meski ketakutan, sebisa mungkin aku ingin terlihat bertingkah biasa sembari mengabaikan mereka yang sedari tadi berteriak memanggil-manggil. Langkah kaki pun aku atur agar tetap terlihat santai dan tidak menimbulkan kesan bahwa aku sedang menghindari mereka. Aku hanya ingin dianggap tidak mendengar, lalu mereka menyerah dan berhenti memanggil kemudian pergi. Namun yang terjadi tidak seperti harapanku. Gerak kedua orang itu cepat. Aku bisa merasakan bahwa mereka sudah semakin dekat dan berjarak hanya beberapa langkah di belakangku. Anehnya si Alex malah menghampiri mereka yang sudah semakin dekat itu, dan bodohnya aku pun ikut. Memang sudah insting manusia akan cenderung mengikuti gerakan mayoritas. Saat berjalan beriringan berdua pun, ketika salah seorang (lima puluh persennya) tiba-tiba berhenti berjalan, maka yang seorang lagi akan cenderung ikut berhenti. Dan sial, aku jadi terjebak dikelilingi dua orang preman.

Seorang dari mereka yang berambut pirang, sebut saja bang preman pirang, langsung menghardikku karena aku tidak menyahuti panggilannya, padahal ia telah memanggilku berkali-kali. Aku berkilah bahwa aku tidak tahu, kupikir orang yang dipanggilnya bukanlah aku, melainkan orang lain. Meski sebenarnya tidak ada orang lain di sekitar situ selain dari pada aku dan Alex.

“Sekolah di mana kau?” tanya bang preman pirang sambil menatap ke arah Alex.
“Di SMK dekat sini, Bang.” jawab Alex.

Bang preman pirang kemudian beralih menatap ke arahku dan melontarkan pertanyaan yang serupa. Aku jawab dengan jujur di mana aku bersekolah. Aku tidak bisa berbohong karena identitas sekolahku tertera jelas di lengan kanan baju seragamku. Dia juga menanyakan nama padaku, hal yang bahkan ke Alex dia tidak tanyakan. Dan omong-omong, baru sekarang ini aku ditanyai nama. Alex saja tidak menanyakan namaku sedari tadi. Namun untuk nama aku bisa menjawab dengan berbohong karena namaku tidak tercantum di baju seragam sekolah. Rahmat, itu nama sejuta pelajar yang pertama kali terlintas di benakku. Dia bahkan juga menanyakan aku ini kelas berapa. Aku jawab dengan jujur bahwa aku kelas IX. Namun apa-apaan ini, mengapa aku ditanyainya detail begini sementara Alex tidak.

Bang preman pirang lalu mengucapkan maaf kemudian memperkenalkan diri. Dia mengaku bernamakan Roni. Dia menjelaskan bahwa dia sebenarnya tidak memiliki maksud buruk kepadaku. Dia hanya ingin meminta bantuan dariku. Bahwa dia memiliki adik, bernama Ricky, yang kebetulan juga bersekolah di sekolah yang sama denganku. Lebih tepatnya di kelas VIII-3. Dengan kata lain, adiknya merupakan adik kelasku. Dia lalu melanjutkan cerita mengenai adiknya yang saat ini sedang sakit setelah minggu lalu dikeroyok oleh teman-teman sekolahnya. Kondisi adiknya memprihatinkan dan tak kunjung membaik. Adiknya bahkan sampai mengalami trauma dan tidak ingin ke sekolah lagi. Sejujurnya aku bisa saja memercayai ceritanya sampai di sini, karena sekolahku memang merupakan sekolah lingkungan pasar di pinggiran kota. Banyak siswanya yang ugal-ugalan dan senang dengan perkelahian. Meski begitu, jarang sekali terjadi yang namanya pengeroyokan.

Bang preman pirang pun melanjutkan bahwa dia ingin aku membantunya dengan mencari tahu siapa saja pelaku yang telah mencelakai adiknya dan melaporkan itu padanya. Mendengar hal itu, aku berpura-pura berpikir sejenak, lalu kusanggupi permintaannya meski sejujurnya aku berniat untuk tidak menepatinya. Aku hanya ingin segera berlepas diri dari mereka dan berharap tidak pernah bertemu mereka kembali. Aku akan menghindari jalanan ini di kemudian hari. Dan bila nanti mereka sampai mencariku ke sekolah, mereka akan mencari siswa yang bernamakan Rahmat, dan itu bukanlah aku. Sedang banyak sekali siswa yang bernamakan Rahmat di sekolahku.

Tiba-tiba bang preman pirang memegang pergelangan tangan kananku. Tangannya terasa begitu besar dan cengkeramannya begitu kuat. Aku semakin ketakutan namun berusaha untuk menyembunyikan ketakutanku ini. Jantungku pun berdebar semakin kencang tidak karuan.

“Kau mungkin ndak percaya sama cerita abang, kan? Kau sekarang coba ikut abang ke rumah abang di Tangkerang. Coba kau tengok sendiri gimana kondisi adek abang itu.” kata bang preman pirang lebih lanjut sambil menguatkan cengkeramannya pada pergelangan tanganku. Agaknya aku sekarang sudah bisa menebak dia berasal dari daerah mana setelah mendengar logatnya berbicara barusan.

Ndak bisa Bang kalau sekarang, aku ada les (kursus), nanti aku telat.” jawabku mengelak.
Bentar aja, nanti abang antarkan kau langsung ke tempat les kau itu pakai motor, abang jelaskan juga ke guru les kau itu kalau nanti sampai kau telat.” lanjut bang preman pirang.

Aku tetap tidak mengiyakan ajakannya. Percaya seluruh ceritanya pun tidak. Namun aku sadar aku tidak akan berdaya bila sampai terjadi adu fisik dengan mereka. Badanku kecil, sedangkan mereka besar. Aku sendiri, sedangkan mereka berdua, bukan, bertiga. Aku sangat yakin Alex juga bekerja sama dan menjebakku ke dua orang ini. Aku tidak boleh gegabah, jangan sampai mereka naik pitam. Aku sangat takut bila mereka menodongkan senjata tajam padaku, atau malah mencoba membawaku dengan paksa. Jangan sampai mereka mengetahui bahwa aku sedang ketakutan. Bila mereka tahu, mungkin mereka akan tidak segan untuk mengasariku.

Di sela-sela perdebatan aku dengan mereka, lewatlah satu rombongan pelajar SMK tempat di mana Alex mengaku bersekolah. Yang terdiri atas dua siswi dan tiga siswa. Mereka dengan serentak menyapa bang preman pirang. Mendengar sapaan mereka, bang preman pirang pun semakin berusaha meyakinkan aku bahwa dia bukanlah orang yang jahat, dan orang-orang di sekitar situ semua kenal baik dengannya. Sempat aku berpikir apa dia benar bercerita jujur mengenai derita adiknya. Namun mengingat banyaknya kejanggalan akan pertemuan aku dengan mereka hari ini di sini, kembali meyakinkan aku untuk tidak menaruh simpati pada cerita orang yang tidak dikenal.

Mungkinkah bang preman pirang menanyai setiap pelajar berseragam SMP yang melewati daerah sekitar sini satu persatu demi mencari tahu informasi mengenai pembuli adiknya? Aku tidak yakin dengan itu. Dan mengapa pula di sini? Sekolahku berada di pinggiran kota, jauh dari tempat ini yang merupakan pusat kota. Dan kalaupun aku membantunya menemukan pembuli adiknya, lantas apa yang akan dilakukannya ke pembuli adiknya itu? Tidak terkecuali juga Alex, sedari awal dia mencurigakan dan berusaha menggiringku agar bertemu dengan dua orang berbahaya ini menggunakan cerita karangannya yang receh.

Aku berharap pertolongan segera datang entah bagaimanapun bentuknya, agar aku bisa selamat dari mereka. Namun nihil. Satu-satunya kesempatan yang aku dapatkan hanyalah ketika aku melihat sebuah oplet tanpa penumpang melintas dan kebetulan supirnya menoleh ke arahku. Dengan segera aku lambaikan tangan mengisyaratkan agar oplet tersebut berhenti. Tak perduli ke mana pun jurusan yang dituju oplet itu, aku akan masuk. Dengan sentak aku tarik kuat tanganku hingga terlepas dari cengkeraman bang preman pirang, kemudian langsung berlari dan masuk ke dalam oplet yang baru saja berhenti itu. Aku katakan kepada sang supir agar segera berangkat. Mereka, bang preman pirang dkk, berteriak memanggil-manggilku. Namun untung saja mereka tidak mencoba mengejar dan menangkapku meski sebenarnya mereka sangat bisa melakukan itu. Tindakanku barusan memang sangat beresiko namun aku khawatir aku tidak mendapatkan kesempatan lagi di waktu nanti.

Keesokan harinya, di jam istirahat sekolah, aku meyempatkan diri mengunjungi kelas VIII-3 demi mencari tahu kebenaran kejadian yang berkaitan dengan Ricky, adik dari bang preman pirang, Roni. Menurut informasi yang aku peroleh, tidak ada seorang siswa pun yang bernamakan Ricky di kelas tersebut. Dan ini membuktikan bahwa cerita Roni mengenai adiknya adalah palsu.

Andaikata aku mengiyakan ajakan bang preman pirang saat itu, akan diapakan aku di tempat mereka. Bisa jadi aku akan dipalak, atau lebih parah lagi disodomi secara bergilir, atau lebih ekstrem lagi dibunuh kemudian organ-organ dalamku diambil dan dijual di pasar perdagangan organ manusia. Macam-macam kemungkinan buruk bermunculan di kepalaku. Namun yang pasti, mereka sedang berusaha menipuku dengan cerita-cerita palsu, dan dibalik itu sudah pasti memiliki niat yang tidak baik kepadaku.

Menurutku, hal yang paling masuk akal yang mereka (bang preman pirang dkk) inginkan dariku adalah barang-barang berharga yang mungkin dibawa oleh seorang pelajar sekolah menengah. Seperti uang tunai, jam tangan, handphone, laptop, dll. Jujur saja aku tidak memiliki handphone karena orang tuaku tidak membiarkanku sebelum aku berkuliah. Begitu pula dengan laptop, aku juga tidak punya. Jam tangan yang aku kenakan pun hanyalah kualitas KW. Sedangkan uang tunai yang aku bawa hanya cukup sebatas ongkos perjalanan hingga aku pulang ke rumah. Aku tidak membawa uang lebih untuk jajan karena aku tidak pernah jajan di tempat kursus. Jajanan di tempat kursus semuanya mahal karena tempat kursus itu sendiri berada di lingkungan elit perkotaan. Mungkin mereka salah mengira aku sebagai salah satu dari kalangan orang elit itu, padahal tidak. Andaikata saat itu mereka sukses memalakku, mereka pasti kecewa, karena yang dapat mereka panen dariku sungguh sangatlah sedikit. Meski begitu tentu aku juga yang akan menjadi pihak yang paling dirugikan.

Kemudian mengenai Alex, aku percaya dia memang benar-benar pelajar SMK negeri di sekitar situ. Namun tampaknya dia adalah pelajar yang bernasib malang dan sudah menjadi bahan pemalakan rutin dari preman pirang dan bertopi itu. Tampaknya lingkungan di sekitar situ telah menjadi daerah kekuasaan dua preman ini. Dan kebetulan saja di hari itu, karena Alex tidak memiliki uang (yang cukup) untuk disetorkan, maka dia mengumpankan aku sebagai syarat untuk dia selamat dari ancaman apapun yang tengah diberlakukan padanya.

Happy 10 years old to this site

10 years ago, I created this site with the aim of improving communication skill. But since then I rarely publish something, especially after I graduated from college. I barely have free time due to working, and even I do I tend to do nothing. How can I be consistent?

From now on I think I will publish some nostalgic and old stories of me in the past. Because recently I am starting to forget who I was and what I was doing then. I would like to write my story here, so my history will not be forgotten.

Einstein’s Riddle

In my first (or maybe second) week in Senior High School, a physics teacher gave the class a riddle that was made by Einstein. He said most of people, with 98% statistic, couldn’t solve the riddle. The riddle is as follow.

_START of riddle_
There are five houses sitting next to each other on a neighborhood street. Each house’s owner is of a different nationality. Each house has different colored walls. Each house’s owner drinks their own specific beverage, smokes their own specific brand of cigar, and keeps a certain type of pet. None of them share any of these variables: nationality, house’s color, beverage, cigar, and pet. They are all unique.

Here are some clues that we know:
The Englishman lives in the house with red walls.
The Swede keeps dogs.
The Dane drinks tea.
The house with green walls is just to the left of the house with white walls.
The owner of the house with green walls drinks coffee.
The man who smokes Pall Mall keeps birds.
The owner of the house with yellow walls smokes Dunhill.
The man on the center house drinks milk.
The Norwegian lives in the first house.
The Blend smoker has a neighbor who keeps cats.
The man who smokes Blue Masters drinks beer.
The man who keeps horses lives next to the Dunhill smoker.
The German smokes Prince.
The Norwegian lives next to the house with blue walls.
The Blend smoker has a neighbor who drinks water.

The question is: One of them is known to pet fishes, who does it?
_END of riddle_

The answer:
If we map all the puzzles carefully, we will find out that the German does. He lives in house with green walls. He drinks coffee and smokes Prince. He pets fishes, as Einstein did. Einstein was German.

Darurat Berbahasa

Lama sudah aku tidak singgah ke wordpress ini. Sawang-sawang pun bertebaran di sudut-sudut dashboard. Agaknya aku perlu melakukan sedikit beberes.

Sebelum menyusun tulisan ini, aku mengoreksi beberapa tulisanku yang sebelumnya. Yang pada saat diterbitkan, kupikir aku telah menuliskannya dengan ejaan yang baik. Namun setelah waktu berlalu dan kubaca kembali, ternyata tatanan bahasaku amburadul.

Aku juga sempat mengulik-ulik warna dan mengatur ulang dekorasi untuk mengubah suasana. Namun pada akhirnya aku kembalikan ke suasana lama. Ternyata aku masih nyaman dengan selera aku yang tujuh tahun silam. Memiliki tampilan yang less color dan no highlight picture terkesan klasik bagiku. Aku suka dengan hal-hal yang dikemas klasik, meskipun mungkin saja memiliki fitur yang modern.

Sebetulnya sedari lama aku memiliki beberapa materi untuk dituliskan di sini. Aku sudah mengonsepkan materi-materi itu dalam benak. Hanya saja aku terlalu malas untuk merealisasikannya. Godaan akhir minggu santai selalu saja sukses membuatku menunda merangkai kata-kata. Sedangkan di hari-hari selain akhir minggu aku terlalu letih. Pulang kerja inginnya langsung tidur saja. Tanpa terasa sudah hampir setahun berlalu dari sejak tulisanku yang tepat sebelum ini diterbitkan.

WordPress merupakan platform berbagi yang saat ini mulai tidak diminati umat manusia. Di saat orang-orang lebih memilih media sosial berbasiskan gambar seperti instagram dan tiktok sebagai platform berbagi, aku lebih memilih menggunakan wordpress untuk berbagi cerita panjang dan twitter untuk berbagi cerita pendek. Meski aku tetap menggunakan instagram, namun jarang.

Bagiku menulis di wordpress merupakan sarana untuk tetap mempertahankan kemampuan bahasa yang aku punya agar tetap ada pada diriku. Lucu memang, meskipun merupakan bahasa ibu, aku mulai kesulitan menggunakan Bahasa Indonesia. Karena sedikitnya kesempatan berbincang dengan lawan bicara yang juga berbahasa Indonesia.

Bahasa Inggris pun tidak dikecualikan. Malah lebih parah. Lidahku mulai kaku dan aku mulai kesulitan melafalkan kata-kata. Karena intensnya interaksi dengan orang-orang Jepang, cara mereka melafalkan kosakata Bahasa Inggris sedikit banyaknya berpengaruh padaku. Dan sayangnya, pengaruh itu bukan pengaruh yang baik.

Minggu lalu aku membeli sebuah buku, berjudul “The Official Guide to the TOEFL Test“. Buku yang diterbitkan oleh penyelenggara resmi TOEFL, yakni ETS. Aku membeli buku ini sebagai bahan persiapan untuk mengikuti ujian TOEIC yang diselenggarakan bulan depan. Lantas, mengapa malah membeli buku persiapan TOEFL bukan buku persiapan TOEIC?

Menurutku TOEFL mengukur kemampuan Bahasa Inggris secara akademik, sedangkan TOEIC mengukur kemampuan Bahasa Inggris untuk penggunaan profesional lintas negara. Aku akan mengikuti ujian TOEFL jika bukan karena biayanya yang mahal.

Pilihan jadwal TOEFL pun sedikit karena skor TOEFL tidak umum digunakan di Jepang. Sebaliknya, skor TOEIC lebih umum digunakan sebagai syarat pendaftaran kuliah, pelamaran kerja, dll. Sehingga ujian TOEIC lebih sering diselenggarakan. Biayanya juga lebih murah. Perbandingan biaya ujian TOEIC dan TOEFL kira-kira satu berbanding empat. Perbedaan yang signifikan, bukan? Untukku yang ingin mengikuti ujian dengan tujuan mengetahui kemampuan saat ini dan sebagai cambuk agar aku belajar Bahasa Inggris kembali tentu saja memilih ujian yang biayanya lebih murah.

Aku tidak mengerti mengapa Jepang lebih senang menggunakan skor TOEIC sementara di luar Jepang orang-orang menggunakan skor TOEFL atau IELTS sebagai tolak ukur kemampuan berbahasa Inggris.

Thought: Video of Tug Battle Tesla vs Ford

It has been two weeks since Tesla Cybertruck was presented. Tesla, a company that focus on electric vehicle and renewable energy, just presented their first ever electric truck which they named it Cybertruck.

The design is quite controversial. Not everyone accepts it. For me, it looks sturdy but also intimidating. It is far from what I imagined as futuristic vehicle but I do like its squared body just like I like most of Jeep cars look. As I stated before in my previous post, I love the polished bare metal look rather than painted one. Looks sturdily beautiful.

Soon after the presentation of Cybertruck by Tesla, the video spread on internet rapidly. But not as rapid as its memes. I watched a video from Marques Brownlee, a YouTube content maker who attended in the event. He was also allowed by Tesla to enter and drive with the Cybertruck. I envy him.

Another viral video, which I attached below, a video of tug battle between Tesla Cybertruck and Ford F150 which won by Cybertruck. Some people were debating that it is fake. It seems like Tesla tricked the battle for letting Cybertruck to push pedal first before F150. I don’t think so. But I do agree that the video is not comparing apple to apple. Tesla Cybertruck is 4WD, so it must be compared to 4WD version of Ford truck and both trucks must be equipped with identical tires to eliminate road traction excuses. But I am pretty sure that Cybertruck will still win against 4WD version of Ford truck in tug battle simply because of electric motor’s instant torque.

Video Cybertruck vs F150 Tug Battle

Electric motor has one advantage that internal combustion engine does not have, it is instant torque. Instant torque is the reason why recent locomotives are driven by electric motors. Electric motor accelerates better at low speed because at low speed its torque is maximum. Please take a look at torque vs rotation speed charts below. The charts show us that electric motor produces maximum torque at low rpm and the torque started even from zero rpm, while internal combustion engine (ICE) needs some amount initial rpm to output torque.

ice-torque-and-power-curve-2-1_resize_20.jpg

ice-torque-and-power-curve-1-1_resize_61.jpg

The reason why internal combustion engine cannot produce torque at zero rpm is illustrated below. At zero rpm, crankshaft must be not rotating. If crankshaft is not rotating then piston is not stroking. If piston is not stroking then there are no intake and exhaust, means no combustion, no gas is used, no power is produced, no torque.

engine-strokes-combustion-intake-compression-exhaust-stroke.jpg

Image Internal Combustion Engine Cycle

Now back to the tug war topic. I believe Tesla did not trick the battle. They did not let Cybertruck to push pedal first before F150. It looks like that because F150’s internal combustion engine have to reach amount of rpm before it start to pull while Cybertruck’s electric motor already started pulling since zero rpm.

SOURCES:
Video
youtube.com/watch?v=yo23xYwODdI
Images
electricalelibrary.com/en/2019/02/13/operation-of-hybrid-vehicle
britannica.com/technology/four-stroke-cycle

An introduction of my Lynskey R260

this is a very late introduction, actually

One year has been passed since I got Lynskey R260 rim brake frame. My first road bike and also my first titanium bike (I had a steel cross bike before). Got the frame after won an auction on eBay for one third of the retail price. Actually this frame was last year stock that remained at Lynskey warehouse at that time. So they offered it as an auction.

Months before get into the auction, I had read many sources then I found myself tend to get a bike with frame that made from titanium or stainless steel rather than any other kinds of frame. But the price of those two frame successfully made me stayed away until the day I found an auction that I couldn’t resist.

I got the XS size. I was afraid the frame will be too small for me but glad that it is not. need to be mentioned that the size of the frame is in American standard since all Lynskey frame were built in USA. So the small size most likely medium for Asian.

The frame itself made from alloyed of 3% vanadium, 2.5% aluminum, and the rest is titanium. The frame has an industrial milling finish which actually is random direction brushed finish. The result make it shiny without unnecessary glossy. I love the polished bare metal look rather than painted one. Looks sturdy and beautiful. I can’t stop looking at it.

After I got the frame, I started to buy the other components. I completed the bike with full Shimano 105 R7000 group set (except for bottom bracket which is Dura-Ace, and cassette which is Ultegra), Columbus fork, Vision wheel set, pair of Continental tire, Ritchey handlebar, Selcof stem, Fizik seatpost, Selle Italie saddle, and a pair of flat mountain pedal. I didn’t find the need to use road pedals yet. Just dislike the idea to attach my shoes to the bike as I want to release myself from the bike as fast as possible when I crash. Of course I don’t want to face any crash, but just in case.

For the front rim brake, I chose black color as it matches black fork. For the rear rim brake I chose silver color as it matches polished titanium color. Small details but it is important.

The scale showed that my complete bike is about eight and half kilograms. I found it is heavier than most of carbon fiber and some of expensive aluminum frame bike with equivalent size. But I am not a weight weenie guy who always cares about being light weight. What I want is a long lasting decent bike that I can hand over to my child or even my grand child later. That was why I tend to have titanium or stainless steel as this two material has strength (and that is isotropic vs carbon that is not isotropic), rust resistant (superior vs steel), UV resistant (superior vs carbon), and comfortable to ride (superior vs aluminum frame).

I never rode other than steel bike before but really love the titanium feeling which some people mentioned it as titanium magic. Not an actual magic, titanium is well known as springy metal because it is strong and flexible enough to dampen small vibration from the road, make it more comfortable to ride.

I use this bike for daily commuting to office and I cycle 25 kilometers a day. Often enough until one day I felt like I lost my balance while walking but had no problem when I am on my bike.

I really want to make a video of my bike’t point of view while riding, but I don’t have any portable action camera yet. Once I had, I definitely will do it on Nikko hilly curve road (in Tochigi prefecture, Japan).

DSC_0067_1-01_resize_87

I like the name of the frame, R260. Letter R stands for my name initial and 26 is number I like the most.

She is beautiful, isn’t she? Her name is Mona

Ulas film: Green Room (2016)

Saya adalah orang yang cukup ribet dalam menikmati sebuah film. Hingga saat ini hanya sedikit film yang benar-benar membuat saya merasa terhibur ketika menontonnya. Saya juga bukan orang yang ngikut aja dengan tontonan apa saja yang sedang trending. Saya bahkan belum (atau mungkin tidak akan) menonton film Infinity War dan End Game karena tidak suka pada motif pemeran antagonis dan konflik yang dibangun dalam cerita yang menurut saya kekanak-kanakan, meski dua film itu trending luar biasa pada masa rilisnya.

Tahun 2017, ketika saya sedang berselancar di internet, saya menemukan sebuah film berjudul Green Room. Film ini dirilis di tahun 2016, dan mendapatkan ulasan yang cukup baik dari para kritikus film. Pada tulisan ini saya akan menjabarkan ulasan saya mengenai film ini yang murni dari saya tanpa terpengaruh penilaian dari orang lain.

Kebiasaan saya dalam menonton film yang benar-benar baru bagi saya adalah langsung menonton tanpa membaca sinopsisnya terlebih dahulu. Sehingga ketika menonton saya tidak memiliki memori atau gambaran apa pun dari cerita yang disuguhkan, dan pemahaman isi cerita akan terbangun sendirinya seiring berjalannya cerita. Saya tidak menyangka bahwa film ini ternyata menyuguhkan jalan cerita yang sangat baik.

Di awal cerita dikisahkan perjalanan band punk yang bisa dibilang tidak laku. Alur ceritanya datar dan mengalir seadanya. Hingga suatu ketika mereka terseret dalam masalah yang terjadi begitu saja, yang tidak ada hubungan dengan mereka.

Kemudian terjadilah pertikaian antar dua kelompok dengan dua tujuan sama namun berbeda arah. Sama-sama ingin mengamankan diri dan kelompok sendiri, yang berarti berbuat sebaliknya ke kelompok yang lainnya.

Banyak hal gegabah yang mereka lakukan dalam menghadapi masalah ini. Pun demikian, jika saya berada di posisi mereka, mungkin saya juga melakukan tindakan yang sama gegabahnya.

MV5BNzY0ODEzMTc3NF5BMl5BanBnXkFtZTgwOTA1MTkyODE@._V1_SY1000_SX1500_AL__resize_80

Yang disuguhkan dalam cerita tidak menyimpang jauh dari logika dan kaidah fisika sehingga membuat ceritanya mendekati cerita yang nyata. Dinamika cerita terlihat murni, sang tokoh utama tidak dominan. Sampai-sampai, hampir di separuh awal cerita saya tidak bisa menebak secara pasti siapa tokoh utama dari cerita tersebut. Berbeda sekali dengan film berjudul Interstellar, yang pada menit-menit awal saja sudah dapat ditebak siapa tokoh utamanya karena terlalu dominan.

Rating yang saya berikan untuk film ini adalah 10/10. Saya kasih tinggi bukan karena filmnya sempurna, namun karena saya tidak bisa menemukan poin negatif untuk dibahas dari film ini. Namun, apa pulalah artinya penilaian saya yang sangat awam dalam perfilman.

Film ini saya rekomendasikan untuk penonton yang menginginkan cerita dengan genre thriller namun tidak melulu mengedepankan adegan yang berdarah-darah, serta menyuguhkan dinamika cerita yang natural.

Sudahkah Anda menonton film ini? Bagaimana ulasan Anda mengenai film ini?

SUMBER:
Gambar imdb.com/title/tt4062536

 

Apakah Anda memiliki rekomendasi film yang bagus untuk saya tonton? Ataukah ada film yang Anda ingin saya ulas?

Halal food culinary: Shinjuku-Gyoen Ramen Ouka

I had a chance to have a dinner at Shinjuku-Gyoen Ramen Ouka. This restaurant is quite far from JR Shinjuku Station. About twenty minutes walking. But the taste is worth the distance.

Entrance door of the restaurant was really heavy as stated on the door. At first I thought the door was locked but it was not.

If the restaurant is not crowded, there will be a waitress ready to explain everything on the menu directly to you if it is your first time in the restaurant. They just sell set menus and all the menus are halal and some menus are also vegan friendly.

They sell wagyu ramen set that cost around 10000 JPY. I did not ordered wagyu that time as I did not want to spend that much money. But I was told all things about their wagyu. They get the wagyu from a farm which is current champion (first winner) of wagyu championship in Japan. But I forgot the name of the farm. The wagyu championship in Japan is held once in five years, and they won it in 2017.

If you do not know what wagyu is, imagine it as meat of a happy cow. Cow that got extra special attention and treatment from its farmers. Made the cow healthy physically and mentally. The happy cow then produce uniquely marbled soft texture meat. That is why wagyu has a high price tag.

They also sell chicken ramen set which cost around 2000 JPY. I ordered one with fish soup and without spicy level as I wanted to taste the original taste. Vegetable soup option is also available as well.

If you are spicy food lover, you will feel grateful adding some spiciness to your ramen. There are 10 levels of spiciness available. For the highest level 10, special chili from India named bhut jolokia is used. Spicy level 3 they claimed to be as spicy as Indonesian food. But I  highly doubt it. Japanese often overrate the spiciness. What they think spicy often is not spicy at all to me. So I think Indonesian spicy lies on level 5 at least.

The set was served well. A bowl of ramen + chicken + tsukune (Japanese chicken meatball) + half boiled egg + vegetable + rice + soy sauce to be eaten with tsukune. They recommend to eat the noodle first, if it is not enough, pour the remaining ramen soup to the rice and eat the rice with ramen soup.

The taste was delicious. Sorry I was so hungry so I ate immediately and took the photo on the halfway of my meal.

DSC_0105-01_resize_46

I finished my meal with nothing left, as usual. One of the waitress came and talked to me, said that she did not expect me to eat until that clean because I ordered with large size option and I am just a skinny boy. Oh, if you see me eat for the first time, you probably be surprised. She then gave me a thank card.

At the end of meal they serve desserts. I got dorayaki matcha and organic tea imported from France that they claimed is good for belly.

_20191110_220620_resize_37

There was also a waitress that came from the same country as me, Indonesia. Her name is Ayu. She is now studying in Japan. If you go to link provided in ‘more about the restaurant’ below and play an attached youtube video by Ouka TV Tokyo, the girl who wear black hijab in the video was her.

MORE ABOUT THE RESTAURANT:
Location Shinjuku 1-11-7, Sinjuku, Tokyo
Website m-ouka.com